Kamis, 30 Oktober 2014

Pura Pancering Jagat Ratu Patih, Bongancina, Buleleng (7)

PURA RATU PATIH
SEBELUM TAHUN 1900 AN
Sebelum pemerintah Belanda mengijinkan kembali membuka hutan lindung di desa Bongancina sekitar tahun 1900 an, desa ini telah pernah berpenghuni. Tetapi penduduk ketika itu tidak bisa bertahan, karena lahan pertanian mereka diserang oleh hama semut merah, sehingga penduduk mengungsi ke arah timur ke desa Kaliukir, Kecamatan Pupuan. Hal ini terlihat dari fakta, dimana sampai saat ini bila diadakan piodalan di Pura Desa & Puseh Bongancina, keturunan dari bekas penduduk yang kini sudah tinggal di desa Kaliukir, datang untuk ”ngaturang bhakti” ke Pura tersebut.

Juga dari penuturan tetua-tetua desa, desa ini pernah dihuni oleh orang Tionghoa, hal ini terlihat dari penemuan penduduk berupa perhiasan, gerabah, keramik, serta daun gender kuno, di beberapa tempat. Mereka juga meninggalkan desa ini, karena tidak tahan dengan serangan hama semut merah. Nama Bongancina diduga berasal dari BONGanCINA (Kuburan Cina). Pernah ada seorang warga Tionghoa yang datang dari Jakarta, untuk melihat keberadaan desa Bongancina dan Pura Ratu Patih. Entah karena petunjuk mimpi atau sebab lain. Diduga Bongancina pernah menjadi desa tujuan, pada saat pertama kali orang Tionghoa menginjakkan kakinya di Bali. Pada saat ini di Bongancina ada seorang tapakan dipercaya sebagai dasaran Dewi Kwan Im.

DIHUNI KEMBALI
Pada awal tahun 1900 an pemerintah Belanda mengijinkan penduduk untuk membuka hutan lindung di daerah Kutul (kini desa Pucaksari, Kecamatan Busungbiu 12 km di sebelah barat Pupuan), termasuk pembukaan hutan di Bongancina (waktu itu masih merupakan Banjar dari Desa Kutul). Menghadapi beratnya medan, menghadapi binatang buas dan sulitnya menebang pohon-pohon besar dengan peralatan seadanya, diperlukan adanya semangat persatuan, kerjasama, saling membantu, dan semangat setia kawan diantara penduduk. Karena itu beberapa orang cikal bakal pendiri desa Bongancina, yang tinggal dalam satu lokasi di palemahan Bongancina Tua yang terdiri dari keluarga I Dewa Made Turun, I Dewa Made Mayus, I Dewa Putu Kereped, I Dewa Nyoman Bajing, I Dewa Putu Darta, I Gusti Putu Siama dan I Gusti Made Tama, mengucapkan ikrar :
1) Siapa yang berada di rumah, agar menjaga keluarga yang lainnya. Siapa yang berselingkuh agar tidak menemukan keselamatan (Pada saat itu terdengar suara Guntur menggelegar).
2) Siapa yang ”nyetik” (meracun), neluh, nerangjana (menggunakan ilmu hitam), mencelakai teman lainnya, agar tidak menemukan keselamatan. (Pada saat itu terdengar suara burung tuu-tuu). (Kutipan dari catatan peninggalan keluarga I Dewa Putu Kereped).

PURA RATU PATIH
Pada saat pembukaan hutan, penduduk belum mampu mendirikan Pura Kahyangan Tiga, oleh karena itu cikal bakal pendiri desa yang tersebut diatas beserta penduduk yang lain yang tinggal di lokasi yang berbeda, mendirikan bebaturan sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tempat memuja beliau untuk tempat memohon agar penduduk bisa selamat tidak terserang binatang buas dan terhindar dari serangan hama semut merah. Pura tersebut kemudian dikenal dengan nama Pura Ratu Patih (Nama ini diberikan oleh orang yang kesurupan pada saat dilaksanakan piodalan). Pura ini pernah dipugar tahun 1978 dan dipenghujung tahun 2009 dilaksanakan pemugaran kembali yang dilaksanakan oleh para Pengempon Pura yang jumlahnya 85 KK.. Pembangunan Tahap Pertama diselesaikan diawal tahun 2010 dan pada tanggal 12 Januari 2010, dilangsungkan upacara pemelaspasan, yang dipuput oleh Ida Pedanda Griya Jagaraga dan dihadiri juga oleh Muspika Kecamatan Busungbiu.

PERAN PURA RATU PATIH
Disaat pembukaan hutan dilakukan, Pura ini digunakan sebagai tempat ngaturang bhakti dan tempat memohon keselamatan agar penduduk tidak mendapat halangan dalam membuka hutan. Pada masa Revolusi phisik, Pura ini juga digunakan oleh para pejuang, sebagai tempat untuk berlindung. Desa Bongancina merupakan desa basis perjuangan dimana Markas Cabang Menaka Giri yang dipimpin oleh I Dewa Putu Dhanu (Pak Sundih) berlokasi Di Markas Cabang Menaka Giri iini dihimpun para pejuang dari desa Bongancina, Tista, Sepang, Kutul (Pucaksari) dan Belatungan (Kecamatan Pupuan). Pada saat tentara Nica dan ”gandek”nya (sebutan untuk orang pribumi yang menjadi kaki tangan Belanda), melakukan pembakaran rumah penduduk desa Bongancina, maka penduduk mengungsi ke Munduk Gawang. Pembakaran rumah penduduk dibarengi juga dengan penyisiran terhadap pejuang oleh tentara Nica. Pada waktu itu pejuang memperoleh ”petunjuk” agar berlindung di Pura Ratu Patih yang jaraknya hanya tiga meter dari jalan raya. Entah karena kebetulan atau memang karena para pejuang memperoleh perlindungan serara ”niskala”, semua pejuang selamat pada saat penyisiran itu. Hanya saja dalam pertempuran yang lain di desa Bongancina, sebanyak lima orang pejuang gugur, yang kemudian oleh penduduk didirikan Tugu Pahlawan, untuk mengenang perjuangan beliau.

PURA RATU PATIH SEBAGAI LOKASI MEDITASI
Pura Ratu Patih terletak di ketinggian (munduk), sehingga pada pagi hari disaat udara cerah semua desa di sebelah timur Bongancina, Gunung Batukaru dan Gunung Agung nampak dengan jelas. Menginjakkan kaki di pelataran pura, terasa ada vibrasi positif terpancar di area itu. Beberapa bulan setelah upacara pemelaspasan, ada seorang bhakta penekun spiritual dari Denpasar, datang ke Pura tersebut. Beliau datang kesana dituntun oleh mimpinya Beliau terkesan dengan keberadaan Pura Ratu Patih dan sebagai wujud bhakti dan juga untuk menambah dana dalam usaha melanjutkan pembangunan phisik pura tesebut, beliau memprakarsai pembuatan Kupon Sumbangan Berhadiah dan beliau juga yang ngaturang punia dalam bentuk pembuatan Kupon tersebut. Penarikan hadiahnya dilakukan tanggal 30 Agustus 2010 dan tanggal 31 Januari 2011. Semoga niat baik datang dari segala penjuru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar