Kamis, 30 Oktober 2014

Pura Luhur Yeh Ketipat, Den Bukit, Buleleng (6)


Sebelumnya melangkah menuju pada keberadaan Pura Tirta Yeh Ketipat, alangkah baiknya terlebih dahulu menelusuri definisi Pura. Kata Pura memiliki beberapa makna dan pernah mengalami berbagai perubahan istilah dan makna. Di India, daerah kelahiran agama Hindu, Pura disebut dengan Mandir, Dwargrha dan lain sebagainya. Di Bali, sebelum Majapahit memancangkan kekuasaanya, istilah Pura disebut dengan Ulon ‘hulu’, selanjutnya menjadi Hyang seperti: Hyang Api, Hyang Tanda, Hyang Karimama, Hyang Soka. Nama-nama Hyang ini banyak disebutkan dalam prasasti Bali Kuna. Seiring perkembangan jaman, Hyang berubah menjadi Kahyangan atau Parhyangan. Bahasa Jawa Kuna juga mengadopsi kata Pura dari bahasa Sanskerta. Kata Pura memiliki arti: kota, istana, keraton, tempat tinggal raja, ibu kota, dan kerajaan.
Setelah kerajaan Bali kuna ditaklukkan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Majapahit Gajah Mada yang selanjutnya membawa Dalem Sri Krsna Kepakisan sebagai pemimpin di Bali, istilah Pura digunakan menyebut istana raja, misalnya: Sweca Pura ‘istana raja Gelgel’; Bandana Pura ‘istana raja Badung’; Smara Pura ‘istana raja Klungkung’; Manga Pura ‘istana raja Mengwi’; dan lain sebagaainya. Sejak kedatangan Dang Hyang Dwijendra ke Bali dan sempat menjadi Bhagawanta ‘pendeta/penasehat istana’ Dalem Waturenggong pada abad ke-17, istilah Pura sebagai sebutan istana raja diganti menjadi Puri. Oleh karena itu, Pura dijadikan istilah untuk menyebutkan tempat suci sampai saat ini. Di samping itu kata Parhyangan atau Kahyangan juga masih digunakan untuk menyebut Puraa oleh masyarakat di daerah tertentu di Bali sampai saat ini.
Berdasarkan Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I – XV, Pura adalah tempat suci untuk memuja Ida Saang Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabawanya (manifestasi-Nya) dan Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur). Disamping itu, pemujaan digunakan juga istilah Kahyangan atau Parhyangan. Secara lebih khusus dalam kitab Isanasiwagurupaddhai, III. 12. 16 menyebutkan kesesuaian filosofi pembaangunan Pura dengan lingkungan yang akan di bangun, yaitu:
            Prasadam yacchiva aktyatmakaam
tacchaktyantaih syadvisudhadyaistu tatvaih,
saivi murtih khalu devalayakhyetyasmad
dhyeya prathamam cabhipujya
Artinya:
Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Siwa dan Sakti dan kekuatan/Prinsip Dasar dan segala Manifestasinya atau Wujud-Nya, dari element hakekat yang pokok, Prthivi sampain kepada Sakti-Nya. Wujud konkrit (materi) Sang Hyang Siva merupakan sthana Sang Hyang Widhi. Hendaknya seseorang melakukan permenungan dan memuja-Nya.
 
Kedudukan yang penting, telah mengantarkan Pura sebagai tempat menambatkan hidup dan kehidupan pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai prabhawa-Nya. Tindakan ini dilakukan semata-mata karena manusia sejak lahir selalu mengalami penderitaan dan kesengsaraan baik dirasakan maupun tidak. Dari penderitaan dan kesengsaraan ini manusia selalu ingin membebaskan diri dari jeratan maya ‘penderitaan’. Begitu pula manusia selalu rindu akan Tuhan. Untuk mencurahkan kerinduan maupun mengadukan problema kehidupan. Oleh karena Hyang Widhi Maha Suci, maka keberadaan tempat suci dibangun sebagai salah satu media penghubung keharmonisan manusia dengan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar