Sebelumnya melangkah menuju
pada keberadaan Pura Tirta Yeh Ketipat, alangkah baiknya terlebih dahulu
menelusuri definisi Pura. Kata Pura memiliki beberapa makna dan pernah
mengalami berbagai perubahan istilah dan makna. Di India, daerah kelahiran
agama Hindu, Pura disebut dengan Mandir, Dwargrha dan lain sebagainya. Di Bali,
sebelum Majapahit memancangkan kekuasaanya, istilah Pura disebut dengan Ulon
‘hulu’, selanjutnya menjadi Hyang seperti: Hyang Api, Hyang Tanda, Hyang
Karimama, Hyang Soka. Nama-nama Hyang ini banyak disebutkan dalam prasasti Bali
Kuna. Seiring perkembangan jaman, Hyang berubah menjadi Kahyangan atau
Parhyangan. Bahasa Jawa Kuna juga mengadopsi kata Pura dari bahasa Sanskerta.
Kata Pura memiliki arti: kota, istana, keraton, tempat tinggal raja, ibu kota,
dan kerajaan.
Setelah kerajaan Bali kuna
ditaklukkan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Majapahit Gajah Mada yang
selanjutnya membawa Dalem Sri Krsna Kepakisan sebagai pemimpin di Bali, istilah
Pura digunakan menyebut istana raja, misalnya: Sweca Pura ‘istana raja Gelgel’;
Bandana Pura ‘istana raja Badung’; Smara Pura ‘istana raja Klungkung’; Manga
Pura ‘istana raja Mengwi’; dan lain sebagaainya. Sejak kedatangan Dang Hyang
Dwijendra ke Bali dan sempat menjadi Bhagawanta ‘pendeta/penasehat istana’
Dalem Waturenggong pada abad ke-17, istilah Pura sebagai sebutan istana raja
diganti menjadi Puri. Oleh karena itu, Pura dijadikan istilah untuk menyebutkan
tempat suci sampai saat ini. Di samping itu kata Parhyangan atau Kahyangan juga
masih digunakan untuk menyebut Puraa oleh masyarakat di daerah tertentu di Bali
sampai saat ini.
Berdasarkan Himpunan
Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I – XV, Pura
adalah tempat suci untuk memuja Ida Saang Hyang Widhi Wasa dalam segala
Prabawanya (manifestasi-Nya) dan Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur).
Disamping itu, pemujaan digunakan juga istilah Kahyangan atau Parhyangan. Secara lebih khusus dalam
kitab Isanasiwagurupaddhai, III. 12. 16 menyebutkan kesesuaian filosofi
pembaangunan Pura dengan lingkungan yang akan di bangun, yaitu:
Prasadam yacchiva
aktyatmakaam
tacchaktyantaih
syadvisudhadyaistu tatvaih,
saivi murtih khalu
devalayakhyetyasmad
dhyeya prathamam
cabhipujya
Artinya:
Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Siwa
dan Sakti dan kekuatan/Prinsip Dasar dan segala Manifestasinya atau Wujud-Nya,
dari element hakekat yang pokok, Prthivi sampain kepada Sakti-Nya. Wujud
konkrit (materi) Sang Hyang Siva merupakan sthana Sang Hyang Widhi. Hendaknya
seseorang melakukan permenungan dan memuja-Nya.
Kedudukan yang penting, telah mengantarkan Pura
sebagai tempat menambatkan hidup dan kehidupan pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dalam berbagai prabhawa-Nya. Tindakan ini dilakukan semata-mata karena manusia
sejak lahir selalu mengalami penderitaan dan kesengsaraan baik dirasakan maupun
tidak. Dari penderitaan dan kesengsaraan ini manusia selalu ingin membebaskan
diri dari jeratan maya ‘penderitaan’. Begitu pula manusia selalu rindu akan
Tuhan. Untuk mencurahkan kerinduan maupun mengadukan problema kehidupan. Oleh
karena Hyang Widhi Maha Suci, maka keberadaan tempat suci dibangun sebagai
salah satu media penghubung keharmonisan manusia dengan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar