Kamis, 30 Oktober 2014

Pura Luhur Masceti, Gianyar (9)

Pura Masceti, Keramas, Gianyar

Pura Masceti berstatus Pura Kahyangan Jagat, kerap didatangi oleh umat dari sejebag jagat Bali. Pura Masceti yang terletak di tepian pantai Desa Medahan-Keramas, Blahbatuh, Gianyar, kerap menjadi tempat mencari keheningan jiwa. Pura suci yang berusia tua yang juga merupakan kisah tapak tilas Dhang Hyang Dwijendra ini ramai dikunjungi di saat hari suci umat Hindu. Setiap hari Purnama, Tilem, Siwaratri bahkan saat diselenggarakan piodalan pada Anggarkasih, Medangsia jejalan umat selalu memadati pura untuk melakukan persembahyangan.

Menurut Jero Mangku Pura Masceti, kata ''Masceti'' terdiri atas dua suku kata, yakni Mas (sinar) dan Ceti (keluar masuk). Namun soal keberadaan Pura Masceti ini tidak satu pun orang mengetahui kapan pertama kali Pura Masceti dibangun. Meski tak ada prasasti, sebagai bukti tertulis akan keberadaan pura ini ada bukti purana yang sumbernya dari kumpulan data dari berbagai prasasti yang menyebutkan keberadaan pura tersebut.

Pura Masceti yang menjadi Pura Kahyangan Jagat ini juga berstatus sebagai Pura Swagina (profesi). Sebagai Pura Swagina, Pura Masceti bertalian erat dengan fungsi pura sebagai para petani untuk memohon keselamatan lahan pertanian mereka dari segala merana (penyakit).

Jero Mangku Pura Masceti mengatakan, keberadaan Pura Masceti berdasarkan Dwijendra Tatwa adalah kisah perjalanan suci tokoh rohaniwan dari tanah Jawa. Di sini disebutkan bahwa kisah perjalanan Danghyang Dwijendra, pada zaman Kerajaan Dalem Warturengong sekitar abad XIII.

Saat itu Dhanghyang Dwijendra meninggalkan Desa Mas, melewati Banjar Rangkan, Desa Guwang, Sukawati, menuju pantai selatan ke timur ke daerah Lebih. Saat melewati Pura Masceti, di tengah sejuknya angin pantai, Dhanghyang Dwijendra merasakan dan mencium bau harum semerbak yang menandakan adanya Dewa yang turun. Sebuah cahaya tampak terlihat dari dalam Pura Masceti.

Dhanghyang Dwijendra pun masuk ke dalam pura yang pada waktu itu pelinggihnya hanya berupa bebaturan (bebatuan). Di sana beliau serta merta melakukan persembahyangan, menyembah Tuhan. Namun pada saat itu tidak diperkenankan oleh Ida Batara Masceti, mengingat Dhanghyang Dwijendra sebentar lagi melakukan moksa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pura Masceti ini telah ada sebelum Dhanghyang Dwijendra datang ke Bali.

Kisah keberadaan Pura Masceti lebih jelasnya juga terdapat dalam Raja Purana I Gusti Agung Maruti, yang ada di Puri Keramas. Dalam naskah babad nomor 80.ab.81a. yang mengisahkan keberadaan I Gusti Agung Maruti saat menjadi raja selama 26 tahun di Kerajaan Gelgel, Klungkung dan juga dalam kisah keturunannya yang tersebar di jagat Bali, di antaranya di Desa Keramas, Gianyar.

Pada tahun 1672 (1750 M), I Gusti Agung Maruti bersamadi pada suatu malam di Cawu Rangkan (Jimbaran). Saat melihat bersamadi, dilihatlah ada sinar api, seperti warna emas di arah timur. Melihat keajaiban tersebut, berangkatlah I Gusti Agung Maruti mencari sinar tersebut hingga akhirnya tiba di tempat yang mengeluarkan cahaya emas itu. Baliau kemudian menemukan tempat suci yang terbuat dari bebaturan, berlokasi di dalam hutan dekat pantai.

Tempat suci bebaturan yang ditemukan tersebut adalah Pura Masceti (sekarang). Setelah mengaturkan persembahyangan dengan pasukannya, I Gusti Agung Maruti kemudian melanjutkan perjalanan menuju suatu wilayah yang kini dinamakan Desa Keramas. Sejak pemerintahan I Gusti Agung Maruti di Keramas, bebaturan tersebut kemudian dilakukan penataan sekaligus perbaikan bangunan suci.

Dari berbagai versi cerita mengenai keberadaan Pura Masceti, mana yang benar belum jelas. Jero Mangku Pura Masceti menegaskan bahwa ketenaran Pura Masceti terjadi setelah masa pemerintahan I Gusti Agung Maruti membangun kerajaan di Keramas.

Pura Masceti mempunyai struktur bangunan suci dengan menganut konsep Tri Mandala. Jero Mangku Pura Masceti menuturkan, pada bagian jeroan (Utama Mandala) di Pura Masceti terdapat beberapa pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Lima merupakan pelinggih Ida Batara Masceti sebagai pelinggih utama. Yang dipuja dalam hal ini adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri. Meru Tumpang Lima ini berdampingan dengan Meru Tumpang Tiga pelinggih Batara Ulun Suwi, dan bagian selatan merupakan pemujaan Batara Segara, kemudian pelinggih Sedahan Penyarikan, Sedahan Dasar atau Pertiwi.

Pelinggih Pesimpangan Gunung Lebah (Batur) dan Gunung Agung. Kemudian terdapat pula pelinggih Ratu Nglurah Agung, Sedahan, Balai Pasamuan, Balai Pewedaan, Piasan/Panggungan dan Piasan Tiang Sanga.
Di Utama Mandala pura juga pada bagian barat laut yang hanya dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih pesimpangan Batara Pura Gelap yang berada di Pura Besakih. Sebelah timur jeroan yang juga dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih Jero Kelodan istana Batara Ratu Mas Mayun. Serta taman yang terdapat Padmasana dan Sedahan.

Bagian Madya Mandala terdapat sebuah pohon besar yang di bawahnya terdapat pelinggih Batara Ratu Lingsir Baten Ketapang. Selain itu juga terdapat beberapa sedahan, dan wantilan sebagai tempat masanekan (istirahat) para pemedek yang tangkil ke pura. Sedangkan pada bagian jaba sisi terdapat Sedahan dan Balai Kulkul.

Upacara Peneduh

Dalam melaksanakan upacara piodalan di Pura Masceti yang menjadi penanggung jawab penuh adalah warga subak yang menjadi pengemong sekaligus pengempon pura yang berjumlah sebanyak 20 subak. Mereka berasal dari sekitar wilayah Desa Medahan, Keramas, dan Tedung. Meskipun penanggung jawab piodalan di Pura Masceti sebanyak 20 subak, setiap kali menggelar upacara yang wajib ngayah hanya klian (ketua) dan wakil klian bersama istrinya dibantu oleh warga lain yang menjadi pengayah.

Mempersiapkan piodalan tampak dilakukan sekitar 10 hari sebelum diselenggarakan piodalan. Termasuk, Selasa (5/2) lalu saat Bali Post, banyak pangayah yang mempersiapkan sarana piodalan di pura tersebut. Selain upacara piodalan, di Pura Masceti juga diselenggarakan upacara peneduh guna memelihara tanaman padi agar tumbuh subur, terhindar dari berbagai serangan hama dan penyakit. 'Para petani bahkan hingga kini sama sekali tidak berani mengabaikan pelaksanaan upacara peneduh tersebut,'' jelas Jero Mangku.

Sebagai rasa syukur para petani terhadap berkah yang telah dilimpahkan Ida Batara Masceti, setiap Anggarkasih Kulantir dilaksanakan upacara Ngusaba Tipat. Selain itu juga digelar upacara ngaturan berem setiap Anggarkasih Julungwangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar