Pura Masceti, Keramas, Gianyar
Pura Masceti berstatus Pura Kahyangan Jagat, kerap didatangi
oleh umat dari sejebag jagat Bali. Pura Masceti yang terletak
di tepian pantai Desa Medahan-Keramas, Blahbatuh, Gianyar,
kerap menjadi tempat mencari keheningan jiwa. Pura suci
yang berusia tua yang juga merupakan kisah tapak tilas Dhang
Hyang Dwijendra ini ramai dikunjungi di saat hari suci umat
Hindu. Setiap hari Purnama, Tilem, Siwaratri bahkan saat
diselenggarakan piodalan pada Anggarkasih, Medangsia jejalan
umat selalu memadati pura untuk melakukan persembahyangan.
Menurut Jero Mangku Pura Masceti, kata ''Masceti'' terdiri
atas dua suku kata, yakni Mas (sinar) dan Ceti (keluar masuk).
Namun soal keberadaan Pura Masceti ini tidak satu pun orang
mengetahui kapan pertama kali Pura Masceti dibangun. Meski
tak ada prasasti, sebagai bukti tertulis akan keberadaan
pura ini ada bukti purana yang sumbernya dari kumpulan data
dari berbagai prasasti yang menyebutkan keberadaan pura
tersebut.
Pura Masceti yang menjadi Pura Kahyangan Jagat ini juga
berstatus sebagai Pura Swagina (profesi). Sebagai Pura Swagina,
Pura Masceti bertalian erat dengan fungsi pura sebagai para
petani untuk memohon keselamatan lahan pertanian mereka
dari segala merana (penyakit).
Jero Mangku Pura Masceti mengatakan, keberadaan Pura Masceti
berdasarkan Dwijendra Tatwa adalah kisah perjalanan suci
tokoh rohaniwan dari tanah Jawa. Di sini disebutkan bahwa
kisah perjalanan Danghyang Dwijendra, pada zaman Kerajaan
Dalem Warturengong sekitar abad XIII.
Saat itu Dhanghyang Dwijendra meninggalkan Desa Mas, melewati
Banjar Rangkan, Desa Guwang, Sukawati, menuju pantai selatan
ke timur ke daerah Lebih. Saat melewati Pura Masceti, di
tengah sejuknya angin pantai, Dhanghyang Dwijendra merasakan
dan mencium bau harum semerbak yang menandakan adanya Dewa
yang turun. Sebuah cahaya tampak terlihat dari dalam Pura
Masceti.
Dhanghyang Dwijendra pun masuk ke dalam pura yang pada
waktu itu pelinggihnya hanya berupa bebaturan (bebatuan).
Di sana beliau serta merta melakukan persembahyangan, menyembah
Tuhan. Namun pada saat itu tidak diperkenankan oleh Ida
Batara Masceti, mengingat Dhanghyang Dwijendra sebentar
lagi melakukan moksa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pura
Masceti ini telah ada sebelum Dhanghyang Dwijendra datang
ke Bali.
Kisah keberadaan Pura Masceti lebih jelasnya juga terdapat
dalam Raja Purana I Gusti Agung Maruti, yang ada di Puri
Keramas. Dalam naskah babad nomor 80.ab.81a. yang mengisahkan
keberadaan I Gusti Agung Maruti saat menjadi raja selama
26 tahun di Kerajaan Gelgel, Klungkung dan juga dalam kisah
keturunannya yang tersebar di jagat Bali, di antaranya di
Desa Keramas, Gianyar.
Pada tahun 1672 (1750 M), I Gusti Agung Maruti bersamadi
pada suatu malam di Cawu Rangkan (Jimbaran). Saat melihat
bersamadi, dilihatlah ada sinar api, seperti warna emas
di arah timur. Melihat keajaiban tersebut, berangkatlah
I Gusti Agung Maruti mencari sinar tersebut hingga akhirnya
tiba di tempat yang mengeluarkan cahaya emas itu. Baliau
kemudian menemukan tempat suci yang terbuat dari bebaturan,
berlokasi di dalam hutan dekat pantai.
Tempat suci bebaturan yang ditemukan tersebut adalah Pura
Masceti (sekarang). Setelah mengaturkan persembahyangan
dengan pasukannya, I Gusti Agung Maruti kemudian melanjutkan
perjalanan menuju suatu wilayah yang kini dinamakan Desa
Keramas. Sejak pemerintahan I Gusti Agung Maruti di Keramas,
bebaturan tersebut kemudian dilakukan penataan sekaligus
perbaikan bangunan suci.
Dari berbagai versi cerita mengenai keberadaan Pura Masceti,
mana yang benar belum jelas. Jero Mangku Pura Masceti menegaskan
bahwa ketenaran Pura Masceti terjadi setelah masa pemerintahan
I Gusti Agung Maruti membangun kerajaan di Keramas.
Pura Masceti mempunyai struktur bangunan suci dengan menganut
konsep Tri Mandala. Jero Mangku Pura Masceti menuturkan,
pada bagian jeroan (Utama Mandala) di Pura Masceti terdapat
beberapa pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Lima merupakan
pelinggih Ida Batara Masceti sebagai pelinggih utama. Yang
dipuja dalam hal ini adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai
Dewi Sri. Meru Tumpang Lima ini berdampingan dengan Meru
Tumpang Tiga pelinggih Batara Ulun Suwi, dan bagian selatan
merupakan pemujaan Batara Segara, kemudian pelinggih Sedahan
Penyarikan, Sedahan Dasar atau Pertiwi.
Pelinggih Pesimpangan Gunung Lebah (Batur) dan Gunung Agung.
Kemudian terdapat pula pelinggih Ratu Nglurah Agung, Sedahan,
Balai Pasamuan, Balai Pewedaan, Piasan/Panggungan dan Piasan
Tiang Sanga.
Di Utama Mandala pura juga pada bagian barat laut yang
hanya dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih pesimpangan
Batara Pura Gelap yang berada di Pura Besakih. Sebelah timur
jeroan yang juga dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih
Jero Kelodan istana Batara Ratu Mas Mayun. Serta taman yang
terdapat Padmasana dan Sedahan.
Bagian Madya Mandala terdapat sebuah pohon besar yang di
bawahnya terdapat pelinggih Batara Ratu Lingsir Baten Ketapang.
Selain itu juga terdapat beberapa sedahan, dan wantilan
sebagai tempat masanekan (istirahat) para pemedek yang tangkil
ke pura. Sedangkan pada bagian jaba sisi terdapat Sedahan
dan Balai Kulkul.
Upacara Peneduh
Dalam melaksanakan upacara piodalan di Pura Masceti yang menjadi penanggung jawab penuh adalah warga subak yang menjadi pengemong sekaligus pengempon pura yang berjumlah sebanyak 20 subak. Mereka berasal dari sekitar wilayah Desa Medahan, Keramas, dan Tedung. Meskipun penanggung jawab piodalan di Pura Masceti sebanyak 20 subak, setiap kali menggelar upacara yang wajib ngayah hanya klian (ketua) dan wakil klian bersama istrinya dibantu oleh warga lain yang menjadi pengayah.
Mempersiapkan piodalan tampak dilakukan sekitar 10 hari
sebelum diselenggarakan piodalan. Termasuk, Selasa (5/2)
lalu saat Bali Post, banyak pangayah yang mempersiapkan
sarana piodalan di pura tersebut. Selain upacara piodalan,
di Pura Masceti juga diselenggarakan upacara peneduh guna
memelihara tanaman padi agar tumbuh subur, terhindar dari
berbagai serangan hama dan penyakit. 'Para petani bahkan
hingga kini sama sekali tidak berani mengabaikan pelaksanaan
upacara peneduh tersebut,'' jelas Jero Mangku.
Sebagai rasa syukur para petani terhadap berkah yang telah
dilimpahkan Ida Batara Masceti, setiap Anggarkasih Kulantir
dilaksanakan upacara Ngusaba Tipat. Selain itu juga digelar
upacara ngaturan berem setiap Anggarkasih Julungwangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar