Kamis, 30 Oktober 2014

Pura Luhur Purancak, Jembrana (1)


PURA PERANCAK
 
        Pura Perancak terletak di pinggir laut, wilayah Desa Perancak, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Jaraknya dari Kota Negara kira-kira 19 kilometer. Jalan menuju pura tersebut cukup baik dan sudah diaspal. Bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor Panorama sekitar pura adalah lautan dan kebun kelapa.
            Bagaimana sejarah berdirinya pura ini? Menurut lonlur Dharma Yatra Danghyang Nirartha cerita berawal dari adanya kesalahpahaman. Ketika itu, akibat salah paham, raja Blambangan, Dalem Juru menunjukkan sikap yang kurang hormat terhadap Danghyang Nirartha. Oleh karena sikapnya itu, tidak ada pilihan lain bagi Danghyang Nirartha, kecuali meninggalkan istana Kerajaan Blambangan. Bekemas-kemaslah beliau bersama istri dan ketujuh putra-putrinya untuk menyeberang ke Pulau Bali. Di samping pakaian dan perbekalan secukupnya, beliau juga membawa barang-barang pusaka, berupa sebuah keris yang bernama si Baju Jeriji serta sebuah tongkat yang bernama si Baru Rambat.
            Pada hari dan waktu yang telah ditetapkan, sekitar tahun 1478, berangkatlah beliau menuju Pantai Blambangan bersama istri yang bernama Sri Putri Keniteh dan tujuh orang putra-putrinya yang bernama DIah Wiraga Slaga, Ida Wiraga Sandi, Ida Lor, Ida Ler, Ida Istri Rahi, Ida Telaga dan Ida Keniten.
            Di pantai Blambangan atas bantuan seorang nelayan, beliau diberi meminjam sebuah perahu (jukung) dalam keadaan bocor. Agar bisa dipakai lebih baik, lubang jukung yang menyebabkan kebocoran itu ditutup dengan daun labu kili. Jukung itu dipergunakan oleh istrinya beserta putra-putrinya menyebrang ke Pulau Bali. Sedangkan beliau scndiri mempergunakan tabu kiti yang isinya teiah dibuang.
            Meskipun memakai sarana penyeberangan yang sederhana, mercka bisa menyebarangi lautan dengan selamat. Mereka merapat di pantai daerah Jembrana. Ketika itu, Jembrana dikuasai oleh seorang anglurah bernama I Gusti Ngurah Rangsasa, Penguasa Jembrana ini mengemong sebuah pura bernama Pura Usang. Kendatipun telah uda pengelurah di Jembrana, tapi masyarakatnya masih bersitut "Uraga Pati" yailu di mana mereka dalam keadaan kegelapan, budi pekerti yang rendah dan sering menghumbar hawa nafsu.
            Di Daerah Jembrana, Danghyang Nirartha mengajarkan agama kepada masyarakat Pada suatu hari, I Gusti Ngurah Rangsasa sebagai penguasa daerah Jembrana dengan diiringi oleh pengawalnya menghadap Danghyang Nirartha untuk diskusi soal agama dan pura. I Gusti Ngurah Rangsasa meminta kepada Danghyang Nirartha untuk sembahyang pada Pura Usang. Danghyang Nirartha bersedia sembahyang, Baru saja Danghyang Nirartha mengatupkan tangan untuk segera mulai sembahyang, pura itu pecah.
            Pecahnya Pura Usang adalah merupakan suatu tanda kekalahan I Gusti Ngurah Rangsasa dalam diskusi dengan Ida Danghyang Nirartha- Pada akhirnya I Gusti Ngurah Rangsasa merasa malu dan mohon pamit, serta melanjutkan perjalanan untuk bertapa. Setelah I Gusti Ngurah Rangsasa meninggal, masyarakat setempat membangun sebuah pura yang bernama Pura Ratu Gede Rangsasa untuk menghormati jasa-jasanya selama hidupnya. Sedangkan untuk menghormati jasa-jasa Danghyang Nirartha, dibangunlah sebuah pura dekat bekas Pura Usang yang diberi nama Pura Perancak.

Pura Luhur Amerthasari, Jembrana (2)


Pura Amerthasari di Banjar Merthasari Desa Adat Lokasari, Loloan Timur, Kabupaten Jembrana adalah pura untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Ayu Manik Galih. Tujuan pemujaan ini adalah untuk mendapatkan motivasi religius dalam mengembangkan kehidupan yang sejahtera. Dewa Ayu Manik Galih sebutan lain dari Tuhan sebagai dewanya padi. Suburnya tanaman pangan yang disebut padi itu adalah simbol kemakmuran ekonomi. 

Dalam tradisi kehidupan beragama Hindu di Bali, Dewa Ayu Manik Galih itu adalah sebutan lain dari Dewi Sri. Dewa Wisnu ”Saktinya” adalah Dewi Sri sebagai dewinya kemakmuran ekonomi. Mengapa saktinya Dewa Wisnu yang dipuja. Hal ini mempunyai nilai aplikatif dalam mengimplementasikan pemujaan pada Tuhan.

Sakti dalam pustaka suci Wrehaspati Tattwa 14 dinyatakan: Sakti ngaranya ikang sarwa jnanya lawan sarwa karya. Artinya Sakti namanya yang banyak ilmu dan banyak kerja. Ilmu yang diamalkan dalam kerja itulah yang disebut sakti. Dengan demikian pemujaan Dewi Sri sebagai Saktinya Dewa Wisnu mengandung makna bahwa untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan yang makmur sejahtera tidak cukup hanya dengan memuja Tuhan dengan mencakupkan tangan di depan tempat pemujawan Dewi Sri.

Pemujaan itu hendaknya dilanjutkan dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan tepat, baik dan benar dalam wujud berbagai pekerjaan nyata. Dalam ilmu itu ada nilai dan konsep. Wujudkanlah nilai dan konsep itu dalam kerja sehingga memperoleh pahala mulia dari Tuhan. Dalam memelihara kehidupan yang makmur dan sejahtera itu menurut Canakya Nitisastra XIV.18 yang dikutip di atas ini adalah mengembangkan dan melindungi lima hal yaitu Dharma, Dhana, Dhanyan, Guru Wacana dan Ausada.

Dharma itu sering disinonimkan dengan agama. Artinya kalau ingin hidup sejahtera pelihara dan kembangkanlah dharma agama dengan tepat, baik dan benar. Agama jangan dijadikan media formal untuk meraih citra moral semata dengan menampilkan kegiatan-kegiatan eksklusif. Hal ini dapat menimbulkan beban hidup yang memberatkan hidup. Agama yang intinya berupa sradha dan bhakti pada Tuhan hendaknya diimplementasikan menjadi sistem religi yang lebih dinamis untuk menuntun hidup ke dalam berbagai sistem budaya.

Dharma juga berarti kebenaran, kewajiban dan kebajikan. Untuk mendapatkan hidup makmur dan sejahtera itu hiduplah berdasarkan kebenaran, berbuat sesuai dengan kewajiban hidup. Di samping itu, dharma juga berarti melakukan kebajikan pada sesama ciptaan Tuhan.
Dhana artinya harta benda berupa kekayaan. Hal ini harus dicari dan lindungi dengan tepat, baik dan benar. Mendapatkan dhana haruslah berdasarkan dharma. Dalam Wrehaspati Tattwa 32 ada delapan kepuasan hidup atau Asta Tusti yang seyogianya diusahakan dalam hidup ini. Di antaranya Arjana dan Raksana. Arjana artinya rezeki atau penghasilan yang dapat dikumpulkan dengan kerja yang benar. Sedangkan Raksana adalah memperoleh rasa aman. Juga berarti menggunakan rezeki atau Arjana itu dengan sebaik-baiknya sehingga menimbulkan rasa aman dalam diri.

Dhana itu seharusnya digunakan untuk menyukseskan tujuan mencapai Dharma, Artha dan Kama. Pemeliharaan dan perlindungan dhana itu agar jangan penggunakan dhana itu justru menimbulkan perilaku adharma.

Dhanyan artinya bahan makanan. Bahan makanan itu harus didapatkan dari dharma dengan tidak merusak alam sumber dari bahan makanan itu, dipilih makanan yang satvika, diolah secara Catur Sudhi sehingga bahan makanan yang diolah itu tetap dapat berfungsi sebagai bahan makanan yang sehat dan tetap Satvika Ahara. Pola makan dengan konsep ilmu kesehatan yang tepat.

Guru Wacanam artinya kata-kata bijak atau Subha Sita yang dikembangkan oleh para guru suci seperti para maharesi dan para pandita yang ahli dalam mengembangkan ajaran suci Weda ke dalam kata-kata sastra yang bermakna dan dapat meresap ke dalam lubuk hati sanubari umat. Kata-kata bijak atau Subha Sita itulah yang harus dilindungi dengan diajarkan pada umat melalui sistem pendidikan baik formal, nonformal dan informal. Kata-kata bijak guru suci itu adalah warisan karya para resi yang telah banyak, baik dalam wujud Itihasa maupun Purana dan kitab-kitab Sastra Weda lainnya. Kata-kata bijak ini harus disebarkan seluas-luasnya sepanjang masa pada setiap generasi. Dengan demikian umat akan terus tertuntun oleh kata-kata bijak sebagai wacana para guru suci itu sebagai media penyebaran ajaran Weda sabda Tuhan.

Ausada artinya obat-obatan sebagai cara untuk memelihara kesehatan masyarakat. Dalam pengertian yang lebih luas Ausada juga berarti melindungi sistem hidup sehat untuk diterapkan pada setiap generasi. Demikianlah lima hal yang wajib dilindungi kalau ingin mendapatkan hidup yang sejahtera.

Pura Luhur Jagad Satru, Tabanan (3)


PURA LUHUR JAGASATRU

PULAU Seribu Pura, demikianlah salah satu julukan Bali. Julukan ini memang dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa di seluruh kabupaten/ kota di Bali terhampar ribuan Pura. Baik pura yang berstatus pura keluarga/ soroh/ klan seperti sanggah, merajan, paibon hingga kawitan, pura Tri Khayangan, pura swagina seperti Pura Bedugul dan Pura Melanting, hingga pura yang termasuk dalam kategori dang kahyangan dan kahyangan jagat.

Khusus terhadap pura yang termasuk dalam kategori khayangan jagat atau pura umum, diyakini berstananya manifestasi-manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Seperti misalnya keberadaan Pura Luhur Jagasatru.
Lokasi Pura Luhur Jagasatru ini terletak kurang lebih 1 kilometer dibelakang Pura Luhur Muncaksari, Banjar Anyar, Desa Sangketan Penebel Tabanan. Bagi umat Hindu yang ingin melakukan persembahyangan ke pura ini, di pertigaan Desa Penatahan belok kiri menuju Desa Tegallinggah hingga bertemu pertigaan turun ke kanan.

Dari pertigaan ini umat seterusnya menyusuri jalan yang kondisinya cukup bagus hingga tiba di ujung jalan lereng selatan, tepat di jaba Pura Luhur Muncaksari. Selama menyusuri jalan ini, disepanjang jalan akan dijumpai hamparan pemandangan sawah dengan latar belakang Gunung Batukaru. Dijamin, segala kepenatan oleh rutinitas hidup akan lebur menjadi sebuah keindahan. Rasa tentram, damai akan terlahir pasti, dan juga sebuah pengakuan diri betapa sempurna Penguasa Bumi ini bercipta.

Pura Luhur Jagasatru ini berada diketinggian kurang lebih 800 meter diatas permukaan air laut dan berada dikawasan hutan di lereng selatan Gunung Batukaru.  Pura ini memiliki kaitan dengan Pura Luhur Batukaru dan Pura Luhur Muncaksari. Seperti yang telah diketahui umat Hindu di Bali, Pura Luhur Batukaru sendiri merupakan salah satu kahyangan jagad (pura umum) di Bali, sedangkan Pura Luhur Muncaksari merupakan salah satu bagian dari Jajar Kemiri (empat penyangga) Pura Luhur Batukaru.

Didatangi Politikus
Menurut Mangku Gede Pura Luhur Jagasatru Jro Mangku Nengah Sukirta, hingga saat ini, Pura Luhur Jagasatru yang halaman utama mandalanya tidak lebih dari lima puluh meter persegi ini memang sengaja mempertahankan keaslian bentuk, corak dan bahan material pada setiap pelinggihnya.

Keaslian yang dimaksudkan, yakni dengan bahan batu alam yang ada disekitar lokasi Pura, berupa bebaturan (bangunan dari batu) tanpa sentuhan ornamen modern. Kondisi ini menjadi sebuah ciri khas tersendiri serta menambah suasana pura terkesan sakral dan suci. Sehingga Pura Luhur Jagasatru ini sangat layak untuk dijadikan salah satu tempat untuk melakukan pendakian spiritual.

Mangku Gede mengungkapkan, adapun pelinggih-pelinggih yang ada di Pura Luhur Jagasatru antara lain: Pelinggih Ageng, Pelinggih Pesimpangan Suralaya, Pelinggih Pesimpangan Muncaksari, Pelinggih Pesimpangan Jatiluwih, Pelinggih Pesimpangan Suku Pat, Pelinggih Pesimpangan Batukaru, Pelinggih Gedong Peni (Bale Kulkul), Bale Penyimpenan dan Beji.

Sesuai dengan sejarah keberadaannya, Pura Luhur Jagasatru merupakan Tabeng Wijang Pura Luhur Batukaru. Tabeng wijang yang dimaksudkan ini tiada lain fungsi Ida Sasuhunan yang berstana di Pura Luhur Jagasatru sebagai pecalang jagad niskala. Sedangkan secara sekala memang terbukti Ida Sasuhunan yang berstana di Pura Luhur Jagasatru yang piodalannya jatuh setiap enam bulan sekali (berdasarkan pawukon, setiap Rahina Wrespati Umanis Sinta)) ini sangat asih (pemurah) terhadap damuhNya/ umat.

“Pura Luhur Jagasatru merupakan Tabeng Wijang atau pecalang jagad secara niskala gaib”, ungkapnya. “Secara sekala atau nyata Ida Sasuhunan yang berstana di pura ini memang terbukti sangat asih (mengasihi) umatnya”, jelasnya tanpa bermaksud berpromosi.

Adapun contoh asihnya Ida Sasuhunan yang berstana di Pura Luhur Jagasatru ini terhadap umat, bisa dilihat pada hari hari tertentu, seperti pada saat hari Purnama, Tilem, Kajeng Keliwon maupun pada saat pujawali berlangsung. Pada hari-hari tersebut selain datang dalam tujuan bersembahyang biasa ataupun untuk memohon sesuatu, banyak diantaranya yang datang bertujuan untuk menghaturkan terima kasih karena permohonannya telah terkabul. Misalnya, permasalahan dikeluarga atau permasalahan ekonomi telah dapat terselesaikan.

Mangku Gede juga menyebutkan pura ini seringkali didatangi oleh kalangan pengusaha, politikus maupun pejabat. Baik pejabat di kabupaten Tabanan maupun diluar Tabanan. Menurutnya, salah satu bupati di Bali juga pernah datang bersembahyang di pura ini dalam tujuan untuk memuluskan perjalanannya sebagai bupati.
Pada saat dia sembahyang ada sebuah ciri yang muncul yang menandakan ia dipastikan terpilih sebagai bupati. Terbukti memang, bupati yang dimaksudkan berhasil menjadi bupati selama dua periode. Siapa sosok umat yang kini terbukti mendapatkan anugerahNya sebagai bupati dua periode tersebut, Mangku Gede enggan mengungkapkan dengan alasan tidak etis.

Menjelang Pemilu lanjutnya, banyak juga kalangan caleg yang datang bersembahyang ke pura ini. Sebagian besar diantaranya berhasil meraih kursi untuk duduk sebagai anggota dewan. Namun Mangku Gede menyayangkan, setelah duduk sebagai wakil rakkyat mereka terkesan lupa terhadap keberadaan pura ini.

Pura Luhur Bukit Sinunggal, Tajun, Buleleng (4)


Pucak Bukit Sinunggal merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan yang ada di Bali Utara. Pura ini terletak di Desa Tajun, Kubutambahan.

Menurut sejarahnya yang dalam buku “Pura Bukit Tunggal Dalam Prasasti” disusun Ketut Ginarsa, Balai Penelitian Bahasa, Singaraja, 1979, sebelum tahun 914 Masehi pura ini menjadi milik raja yang dipuja masyarakat Bali Utara pada zaman itu.

Apa dan bagaimana sejarah berdirinya Pura Pucak Bukit Sinunggal itu?
Berdasarkan prasasti Raja Sri Kesari Warmadewa tertanggal 19 Agustus 914, Pura Gunung Sinunggal yang dahulu disebut Hyang Bukit Tunggal terdapat di Desa Air Tabar, daerah Indrapura. Desa Indrapura kini disebut Desa Depaa. Sedangkan yang memelihara Pura Bukit Tunggal itu adalah Desa Air Tabar. Di desa itu terdapat tokoh-tokoh masing-masing Mpu Danghyang Agenisarma, Sri Naga, Bajra dan Tri.

Keempat tokoh masyarakat itu berpangkat Ser Tunggalan, Lampuran. Mereka bertugas mempersatukan masyarakat desa serta melaporkan keadaan dan peristiwa yang terdapat di Desa Air Tabar dan sekitar Pura Bukit Tunggal kepada Sri Paduka Raja Kesari Warmadewa di Istana Singhamandawa. Pada saat itu Istana Singhamandawa terletak di antara Desa Bedulu dan Desa Pejeng sekarang.

Sesuai peraturan adat zaman dulu, letak desa pengemong ada di sebelah utara Pura Bukit Tunggal itu. Seperti halnya desa kecil lainnya yang masuk dalam wilayah Desa Julah, Desa Air Tabar juga sering didatangi perampok. Untuk menjaga keamanan, masyarakat desa itu berpindah tempat menuju ke selatan Pura Bukit Tunggal. Di sana mereka membangun desa baru yang disebut Desa Tanjung. Lama-kelamaan menjadi Desa Tajun atau Tetajun.

Para pemedek yang ingin tangkil ke pura ini harus membersihkan diri di Beji Pura Air Tabar, lanjut ke Pura Dasar Bhuwana, tempat melinggih-nya Batara Siwa Budha, barulah ke Pura Bukit Sinunggal. Di Bukit Sinunggal terdapat sejumlah pelinggih. Mulai dari bawah, terdapat Pelinggih Ratu Bagus Manik Ulap (Ampu Lawang) dan di jaba ada Ganapati.

Sementara di jeroan terdapat pelinggih utama Meru Tumpang Pitu lingih Ratu Batara Lingsir Pucak Bukit Sinunggal Ratu Manik Astagina. Di meru itu terdapat pula patung Batara Ganesa, dan pelinggih Ida Sang Hyang Pasupati. Di sebelah barat meru ini terdapat linggih Ratu Ayu Melanting dan Ratu Gede Dalem Peed (Ratu Bagus Macaling). Di sebelah timur terdapat jejeran tujuh pelinggih yang merupakan pengayatan Sapta Dewata, terdiri atas Ratu Lempuyang, Besakih, Danu Batur, Andakasa, Batukaru, Manik Gumawang dan Ratu Puncak Mangu dan terdapat pula patung ke jurusan Segara Majapahit.

Menurut sejarah, Ratu Batara Lingsir Pucak Bukit Sinunggal Ratu Manik Astagina sudah ada sejak abad ke-5. Beliau datang dari Gunung Himalaya, India diiringi Batara Ganesa. Karena itu Ganesa terdapat di dalam pelinggih utama di Meru Tumpang Pitu (7) itu.

Mengenai keberadaan Ganesa di pura ini, Ida Pandita Mpu Nabe Ketek Dwipayogi dari Gria Pana Santya Muni, Desa Tajun mengatakan Pura Bukit Sinunggal adalah stana Ganesa. Ada keyakinan bahwa Ganesa adalah pelindung manusia. “Banyak orang yang diselamatkan dengan cara mapinunas,” ujarnya.

Sementara itu, piodalan di Pura Bukit Sinunggal jatuh pada Purnamaning Kapat atau saat bulan Oktober. Pada piodalan itu Ida Batara nyejer selama 7 hari. Saat piodalan ribuan pemedek tangkil dari berbagai daerah. Pura ini disungsung 11 desa masing-masing Tajun, Tunjung, Depaa, Tamblang, Sembiran, Pacung, Bangkah, Tangkid, Kelampuak, Bulian dan Tegal. Kaul Ki Barak Panji Sakti

Ada satu hal menarik terkait dengan keberadaan Pura Bukit Sinunggal. Di pura ini pendiri kota Singaraja, Ki Barak Panji Sakti, pernah mengucapkan kaul. Kisahnya dimulai saat Panji Sakti hendak menyerang Blambangan pada abad ke-10. Ketika itu, menurut sejarah, dalam perjalanan menuju Blambangan, Panji Sakti kehilangan arah di lautan dan tidak melihat apa pun. Dalam kepanikan itulah ia memohon kepada Ida Batara Lingsir Manik Astagina Bukit Sinunggal agar diberi petunjuk jalan agar tidak tersesat. Untuk itu dia berkaul akan mengaturkan 6 ekor kerbau.

Benar saja, sejurus kemudian muncul cahaya yang menuntun Panji Sakti sehingga sampai ke tujuan dengan selamat dan memperoleh kemenangan. “Tetapi hingga saat ini Pemkab Buleleng baru membayar kaul 1 ekor kerbau. Sementara Bangli juga sudah membayar kaul sebanyak 6 ekor kerbau,” jelasnya.

Selain itu, Pura Bukit Sinunggal juga sering disebut “Besakih”-nya Buleleng lantaran semua pelinggih yang ada di Besakih terdapat pula di pura ini. Menurut Jro Mangku, hal tersebut dikarenakan alasan teknis. Pada zaman dulu karena kesulitan kendaraan, masyarakat Bali Utara menemui hambatan bila hendak menuju Pura Besakih. Padahal mereka harus melaksanakan upacara meajar-ajar usai upacara ngaben ke Pura Besakih, Karangasem. Untuk mengatasi kesulitan perjalanan itu, dibuatkanlah pelinggih seperti di Besakih agar warga Bali Utara bisa menuntaskan upacaranya di Tajun saja.

Pura Pucak Bukit Sinunggal merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan yang ada di Bali Utara, Pura ini terletak di Desa Tajun, Kubutambahan. Menurut sejarahnya yang dalam buku "Pura Bukit Tunggal Dalam Prasasti" disusun Ketut Ginarsa, Balai Penelitian Bahasa, Singaraja, 1979, sebelum tahun 914 Masehi pura ini menjadi milik raja yang dipuja masyarakat Bali Utara pada zaman itu.Secara administratif Pura bukit sununggal terletak di desa tajun, kecamatan kubu tambahan, kebupaten buleleng. Seperti namanya, Pura ini terletak di sebuah bukit dengan pemandangan yang asri yang dikenal dengan bukit sinunggal. 
Untuk sampai di lokasi pura bukit sinunggal, kita dapat melalui jalur denpasar –kintamani, pucak penulisan melewati desa dausa menuju ke desa tajun. Jarak pura dari kota Buleleng kurang lebih 30 km dan dari kota denpasar kurang lebih 98 km.Pura ini dulunya bernama hyang bukit tunggal namun masyarakat biasa menyebutkan dengan pura bulit sinunggal. Sebelumnya mandala pura ini cukup sempit dengan pelinggih pelinggih yang sederhana, setelah didakan beberapa pemugaran kini pura tampak indah dan asri.

Dalam sejarahnya disebutkan bahwa pada abad ke 5 ida bhatara sudah melingga di pura ini yang konon hadir dari Gunung Himalaya, India diiringi Batara Ganesa. Karena itu Ganesa terdapat di dalam pelinggih utama di Meru Tumpang Pitu. Didalam prasasti hyang bukit tunggal juga disebutkan bahwa pura bukit sinunggal dulunya disungsung oleh raja raja dari seluruh bali.Pura bukit sinunggal terletak di sebuah bukit, dengan ketinggan kurang lebih 600 m diatas permukaan laut. Untuk sampai di utama mandala pura, kita harus menaiki 113 anak tangga sepanjang kurang 300meter.Menurut penuturan Pemangku Pura, para pemedek yang ingin tangkil ke pura ini harus terlebih dahulu membersihkan diri di Beji Pura Air Tabar, kemudian ke Pura Dasar Bhuwana, tempat melinggih-nya Batara Siwa Budha, barulah ke Pura Bukit Sinunggal.

Sebelum sampai di utama mandala, di areal paling bawah, terdapat sebuah candi bentar dengan dua buah apit lawang di kanan kirinya.Di pelataran ini terdapat sebuah pelinggih yang disebut dengan pelinggih empulawang, sebagai stana bhtara ratu bagus manik ulap. Sebelum menuju pura utama, hendaknya kita terlebih dahulu menghaturkan sembah di pelinggih ini. Secara sekala, pelinggih ini merupakan penjaga, sebelum memasuki areal tersuci pura.Dari areal ini kita dapat menaiki beberapa buah anak tangga yang akan mengantarakan kita menuju utama mandala. Di tengah perjanan, berdiri sebuah pelinggih yang disebut dengan pelinggih lebuh. Fungsi pelinggih ini adalah pengayatan ke bhatara segara.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sepuluh menit, kita akan sampai di areal utama mandala pura bukit sinunggal.Sebelum masuk ke areal utama mandala, di sisi kanan pura berdiri sebuah bangunan terbuka yang berfungsi sebagai wantilan pura. Di sebelah wantilan terdapat sebuah pohon besar, dengan sebuah pelinggih aling aling, yang berfungsi sebagai penjaga.Melewati sebuah candi bentar, kita akan memasuki utama mandala pura bukit sinunggal. Suasana di mandala ini terasa begitu sejuk dan begitu tenang. Naungan beberapa pohon besar, semakin menguatkan kesan sakral kental dengan aroma kesucian.

Dengan luas sekitar dua puluh are, pelataran utama mandala pura bukit sinunggal dihiasi beberapa buah pelinggih, termasuk pelinggih utama pura.Berada di utama mandala, pandangan kita akan langsung tertuju pada sebuah meru tumpang tuju, yang dikelilingi tembok penyengker. Meru ini merupakan pelinggih pokok pura, stana dari ida ratu pucak sinunggal atau bhatara lingsir, yang bergelar Ida ratu manik astagina, sekaligus merupakan penguasa delapan penjuru mata angin.Adanya tembok penyengker yang mengelilingi meru bukannya tanpa alasan. Jelas ini menunjukkan bahwa tidak semua sembarang orang boleh memasuki areal meru, kesucian hati dan fikiran merupakan syarat mutlak untuk memuja beliau disini. 

Di sebelah meru, berdiri sebuah padma yang merukan lingga stana Ida Hyang Pasupati.
Tepat di depan padma, berdiri sebuah phon beringin besar dengan pelinggih yang ada dibawahnya sebagai stana ratu ayu mas melanting.Di sebelah pohon beringin, berdiri sebuah pelinggih sebagai pengayatan ratu gede dalem ped, dan pelinggih ratu ngurah tangkeb langit atau ratu wayan tebeng.Di sisi kanan meru berdiri beberapa pelinggih sebagai pengayatan sapta dewata yaitu pura lempuyang, besakih, batur, batukaru, andakasa, pucak mangu, dan beratan.Di mandala ini terdapat sebuah arca yang merupakan pengayatan ke segara majapahit.

Jeroan pura juga dilengkapi oleh beberapa bangunan pelengkap seperti gedong penyimpenan, bale gong, pesamuan dan bale dana punia.Piodalan adalah upacara pemujaan kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasiNya lewat sarana pemerajan, pura kahyangan dengan ngelinggihang atau ngerekayang dalam hari hari tertentu. Hari piodalan suatu pura terkait dengan upacara peresmian pertama kali atau pemelaspas dan ngenteg linggih.Perhitungan piodalan di pura bukit sinunggal dilaksanakan berdasarkan pawukon dan wewaran, sehingga piodalannya jatuh pada purnamaning kapat, atau saat bulan Oktober. Pada piodalan itu Ida Batara nyejer selama 7 hari. Saat piodalan ribuan pemedek tangkil dari berbagai daerah.

Pura bukit sinunggal merupakan pura dengan masyarakat pangempon yang cukup besar. Pangempon pura ini berasal dari 11 desa, yang ada di kecamatan kubu tambahan, diantaranya adalah dari desa tajun, tunjung, depa, bayad, sembiran, pacung, bangkah, tamblang, tangkid, mangening, dan kelampuak. Di desa tajun sendiri pangempon pura berjumlah hampir 1500 kepala keluarga.Pangempon pura, merupakan penyangga utama pura, baik itu dari upakara dan upacara yang dilaksanakan rutin. Pemugaran pura yang dilaksanakan tahun 1990, merupakan swadaya dari masyarakat pangempon yang menghaturkan dana punia. Pura bukit sinunggal merupakan salah satu pura yang sangat sacral. Menurut penuturan mangku pura, bila akan terjadi bencana besar dari meru akan memancar sinar merah terang dan beberapa kali telah terbukti.

Tak heran jika banyak pemedek yang sengaja datang dari jauh untuk dapat tangkil di pura ini. Banyak Pemedek yang datang ke pura ini bermula dari mimpi mimpi. Sebagian datang untuk memohon obat maupun kesejatraan.Masyarakat yang datang ke pura bukit sinunggal berasal dari berbagai kalangan, dari pejabat sampai wisatawan asing yang menerima bisikan dari mimpi. Keberadaan pura bukit sinunggal sangat disucikan oleh masyrakat, ini terbukti dengan tidak diperbolehkannya wisatawan asing memasuki areal pura, kecuali akan melakukan persembahyangan.Pura bukit sinunggal merupakan salah satu pura yang sangat baik untuk melakukan meditasi, vibrasi suci yang mengalir kuat memancarkan kedamaian di setiap raga yang berada di parahyangan ini.

Pura Luhur Penegil Dharma, Buleleng (5)


Pura Penegil Dharma

Indriyanam jaye yogam
Samatistheddivanisam.
Jitendriyo hi saknoti.
Vagesthapayitumprajah
(Manawa Dharmasastra, VII.44).

Maksudnya:
Siang dan malam terus berusaha mengendalikan indria sekuat tenaga. Kalau raja berhasil menundukan indrianya sendiri maka raja akan dapat membuat rakyatnya patuh pada kepemimpinannya.
SETIAP orang hendaknya mengamalkan ajaran kitab suci ke dalam dirinya sendiri dan untuk bekal mengabdi pada orang lain. Yang tertinggi ajaran kitab suci itu untuk dijadikan pegangan berbakti kepada Tuhan. Apalagi bagi seorang yang berkedudukan sebagai raja. Sebelum bertugas mengendalikan pemerintahannya seorang raja harus berusaha siang malam mengendalikan indrianya agar patuh pada arahan pikiran dan kesadaran budhinya.
Indria yang berada di bawah kendali pikiran dan kesadaran budhi itu akan dapat mengimplementasikan kesucian Atman dalam setiap perilakunya. Apalagi sebagai seorang raja memiliki kewajiban berat untuk mengupayakan rasa aman (Raksanam) dan kehidupan yang sejahtera (Danam) bagi rakyatnya. Seorang raja membutuhkan stabilitas fisik dan mental yang kuat serta moral yang luhur. Karena itu, ia harus secara khusus menyediakan waktu untuk penguatan diri secara utuh.
Demikianlah Pura Penegil Dharma yang berdiri di pantai utara Kabupaten Buleleng sebagai pura untuk tempat bermeditasinya raja dengan pembantu-pembantunya. Selanjutnya setelah sang raja berstatus sebagai Dewa Pitara di Sunia Loka distanakan di pura ini. 


Pura Penegil Dharma dengan Pura Prasanaknya ini terletak di Desa Kubutambahan dan Desa Bulian, Buleleng Utara. Pura Penegil Dharma ini pada mulanya bernama Pura Penyusuhan yang bentuknya hanya sebongkah batu hitam yang sangat kuno namun ada sesuatu yang magis religius di balik bentuk sederhana itu.

Sekitar tahun 1994 rombongan dosen Fakultas Teknik atas undangan umat berkunjung ke kaki Gunung Raung di Banyuwangi dan juga ke sebuah Petilasan di Alas Purwo untuk sembahyang. Persembahyangan itu sangatlah khusyuk. Dalam persembahyangan yang sangat hening itu ada salah seorang dosen mendapatkan bisikan spiritual. Isi petunjuk spiritual itu agar umat Hindu segera melestarikan tempat-tempat pemujaan atau pura yang ada di Gigir Manuk. Umat telah lama lupa pada tempat pemujaan Ida Batara di Pura Penegil Dharma.

Petunjuk spiritual itu diyakini kebenarannya oleh para dosen yang ikut sembahyang saat itu. Para dosen pun siap memberi bantuan teknik kalau ada pemugaran pura yang dimaksud. Setelah itu Pura Penegil Dharma itu pun dicari. Ternyata yang dimaksud Pura Penegil Dharma itu adalah Pura Penyusuhan yang ada di Desa Kubu Tambahan. Kata ''susuh'' itu adalah bahasa Jawa yang artinya ''tegil'' ayam dalam bahasa Balinya. Sejak itulah Pura Penyusuhan mendapat nama Pura Penegil Dharma. Nama inilah yang sekarang lebih dikenal luas oleh umat Hindu di Bali.

Setelah melalui berbagai pembahasan yang mendalam maka terbentuklah Panitia Pemugaran Pura Penegil Dharma dan Prasanaknya. Panitia pemugaran itu diketuai oleh Drs. Putu Armaya. Sebelumnya Dekan Fakultas Teknik membentuk juga panitia bantuan di bidang teknik yang diketuai oleh Ir. I Gusti Lanang Utawa pada Mei 1995.

Pura Penegil Dharma termasuk pura pesanakannya berjumlah sembilan pura. Enam pura di Desa Kubu Tambahan dan tiga pura di Desa Bulian. Di timur laut Desa Kubu Tambahan terdapat enam buah pura yaitu Pura Penyusuhan (Pura Penegil Dharma), Pura Pande, Pura Kerta Negara Gambur Anglayang, Pura Dalem Puri, Pura Patih dan Pura Madue Karang. Tiga buah pura di Desa Bulian yaitu Pura Candri Manik, Pura Sang Cempaka (Mahisa Cempaka) dan Pura Gede.

Di Pura Kerta Negara Gambur Anglayang di sebelah barat laut Pura Penegil Dharma. Pura ini tergolong Pura Prasanak dari Pura Penegil Dharma. Di Pura Kerta Negara Gambur Anglayang ini di samping ada Padmasana terdapat pelinggih-pelinggih untuk memuja Ida Ratu Pasundan, Ida Ratu Pamelayu, Ida Ratu Agung Dalem Mekah, Ida Ratu Manik Subandar dan Ida Batari Sri (Medang Kamulan).

Di pura ini nampaknya dipuja roh suci dari berbagai tokoh yang memiliki keyakinan yang berbeda-beda namun tetap rukun dan damai dalam membina kehidupannya. Hakikat Tuhan itu adalah Mahaesa. Tuhan Yang Mahaesa itu dipuja oleh setiap umat dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Setiap sistem keyakinan menyebut Tuhan Yang Mahaesa dengan sebutan yang berbeda-beda. Sangatlah tidak pantas sebutan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Mahaesa itu dipertentangkan. Hal itu akan membuang-buang energi saja.

Pelinggih utama di Pura Penegil Dharma adalah Pelinggih Gedong yang disangga Badawang Nala. Menurut Ida Pandita Sri Bhagawan Wira Panji Yoginanda, pada awalnya Pura Penegil Dharma ini ditemukan bongkahan batu yang cukup unik dan ada vibrasi spiritual yang sangat luar biasa di balik bentuk sederhana itu. Di tempat itulah didirikan Gedong dengan alas Badawang Nala. Pura Penegil Dharma ini menurut diktat sejarah Pura Penegil Dharma dan Prasanaknya didirikan pada awalnya oleh dinasti Raja Warmadesa dalam wujud yang sangat sederhana.

Keberadaan Pura Penegil Dharma seperti sekarang ini berkat kerja keras Panitya Pemugaran Pura Penegil Dharma dan Prasanaknya yang diketuai oleh Drs. Putu Armaya di Pura Penegil Dharma ini beliau dipuja dengan gelar ''Batara Prameswara Sri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana''.
* Ketut Gobyah
PURA PENEGIL DHARMA BERAWAL DARI KERAJAAN KAWISTA
Pura Penegil Dharma berada di wilayah Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Pura yang tergolong Kahyangan Jagat Nusantara ini sering pula disebut Pura Puseh Penegil Dharma atau Penyusu Dharma. Berdasarkan penuturan Ulu Krama Pura Penegil Dharma Prof. Putu Armaya, pura ini merupakan pura tertua di Bali dan menjadi cikal-bakal Bali. Sebagai pusat kesucian bhuwana agung. Sejarah pendirian pura ini dimulai pada 915 Masehi.

Menurut Prof. Armaya, keberadaan Pura Penegil Dharma tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Ugrasena, pendiri Dinasti Warmadewa dan Maha Rsi Markania atau yang disebut masyarakat Bali sebagai Rsi Markandea. Pura Penegil Dharma sudah ada sebelum Majapahit datang ke Bali. Saat itu Bali masih menyatu dengan Pulau Jawa dan berada di ujung timur pulau itu. Dahulu Bali bernama Prawali. "Itu berdasarkan prasasti Mataram I," ucap ahli sejarah yang pernah jadi Ketua DPRD Buleleng pada 1977 ini.

Dalam prasasti itu juga tertulis bahwa Gunung Merapi meletus hebat pada 914 Masehi. Letusannya menghancurkan ibu kota Kerajaan Mataram I yang berpusat di Candi Boko, Jawa Tengah, di mana penduduknya menganut agama Siwa. Raja Mataram I Sri Sanjaya meninggal karena bencana itu. Kemudian masyarakat setempat yang selamat dipimpin Mpu Sindok mencari tempat baru untuk mendirikan kerajaan.

Mereka menyusuri perbukitan selatan Pulau Jawa. Di lereng Gunung Semeru rombongan itu menemukan aliran sungai bernama Berantas. Akhirnya di tepi sungai itu, Mpu Sindok yang begelar Rakai Hino membangun kerajaan yang diberi nama Kahuripan.

Sementara Ugrasena, salah seorang anggota keluarga Raja Mataram I tidak ingin turut membangun Kahuripan. Hal tersebut karena dalam meditasinya di Candi Boko, Ugrasena yang seorang spiritualis tinggi itu melihat pralingga Ida Sang Hyang Widhi di ujung timur Pulau Jawa yaitu Prawali bersinar berkilauan. Ugrasena lalu berniat membangun pusat kerajaan baru di Prawali.

Di Kahuripan, Ugrasena mendengar bahwa ada parekan Ida Sang Hyang Widhi sedang bertapa di Puncak Gunung Semeru. Namanya Maha Rsi Markania. Nama "Markania" berasal dari kata "parekan". Ugrasena lalu menghubungi Maha Rsi itu dan bersama-sama mencari pralingga di Prawali. Bersama sebagian rakyat Mataram I mereka akhirnya menemukan pralingga tersebut di tepi danau yang kemudian diberi nama Kawista yang artinya buah bila.

Kawista ini juga singkatan dari "Kawi Prayascita", bermakna wilayah Kawista sebagai ibu kota yang sudah suci karena titah (takdir) sebelum campur tangan manusia yang mengupacarai kesuciannya. Maha Rsi Markania mengatakan tempat itu Gigir Manuk yang berada di wilayah Desa Kubutambahan hingga Air Lutung (Ponjok Batu).

Kawista dibangun menjadi pusat kerajaan, istana, agama dan petirtaan karena di dalam danau itu ada 118 mata air suci. Ugrasena menjadi Raja Kawista dengan gelar Kesari Warmadewa. Sementara Senapati Kuturan atau Menteri Agama dijabat Rsi Markania yang merangkap sebagai penasihat raja. Kawista inilah nantinya menjadi Pura Penegil Dharma.

Batas wilayah Kawista di arah utara adalah laut yang ada hutan bakau sepanjang 200 meter. Di dalamnya terdapat laguna yaitu danau air tawar yang tembus ke laut. Timur: Ponjok Batu (Air Lutung). Selatan: Paradayan Air Tabar (sekarang jadi Desa Bayad, Tajun, Tunjung, Depeha). Barat daya: Bila (sekarang jadi Bila Tua, Bila Bajang, Bengkala, Tamblang) dan di arah barat: Air Raya (Tukad Aya).

Di Istana Kawista inilah lahir keturunan Dinasti Warmadewa yaitu putra-putra Kesari Warmadewa. Pertama Janasadhu Warmadewa dengan permaisurinya Sri Wijaya Mahadewi yang menurunkan Udayana. Udayana memiliki permaisuri Mahendradatta, yaitu mindon-nya dari Kerajaan Kahuripan. Keturunan selanjutnya dari Dinasti Warmadewa yaitu Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu tidak menghasilkan keturunan (ceput) sehingga tidak ada penerus Kerajaan Kawista yang masih menyatu dengan Pulau Jawa itu. Kawista akhirnya jadi hutan rimba yang ditempati para bromocorah.

Sementara pada 1248, di Singosari dinobatkan dua pangeran muda menjadi raja kembar, setelah perebutan kekuasaan di Daha. Kedua pangeran bersepupu itu masing-masing Ranggawuni dan Mahesa Cempaka. Ranggawuni dinobatkan sebagai raja Jawa bergelar Jaya Wisnu Wardana, sedangkan Mahesa Cempaka menjadi Raja Mancanegara Nusa Atepan yang terdiri tujuh gugusan kepulauan selain Jawa. Dia juga disebut Nara Jaya atau Jaya Pangus. Sebagai raja dia bergelar Narasinga Murti. Sementara Nusa Atepan diberi nama Narasinga Negara dengan lambang singa bersayap.

Selanjutnya, Wisnu Wardana memperistri adik Narasinga Murti bernama Waninghiun. Mereka memiliki putra Kertanegara. Sejak itulah terjadi keretakan antara keluarga Wisnu Wardana dengan Narasinga Murti. Muncul isu Narasinga Murti tidak dikehendaki berada di Jawa karena dia raja mancanegara. Maka pada 1250, Narasinga Murti melacak jejak istana leluhurnya di Prawali. Tujuannya untuk dijadikan pusat kerajaan Narasinga Negara. Saat itu Prawali sudah terputus dengan Pulau Jawa dan menjadi pulau tersendiri bernama Bali. Kedua pulau itu terpisah laut sempit yang lebarnya kurang dari 100 meter sehingga diberi nama "Segara Rupet".

Akhirnya Narasinga Murti yang saat itu bernama Suradipa atau Ksatria tanah leluhur menemukan Kawista. Lahirlah istilah Pakraman I Bulian dari kata "muloyo iki pusering jagat prawali". I Bulian juga berarti tanah yang lain. Pada 1260 sesuai permintaan Pakraman Paradayan Bulian, Narasinga Murti menjadi Pasek di tempat tersebut karena sudah lama terjadi kekosongan kekuasaan di Bali. Kawista juga sudah ditempati para bromocorah yang merampok pedagang yang melewati tempat itu. Dengan menyandang nama Jayasakti, dia lalu menumpas para penjahat itu.

Pura Penegil Dharma
Setelah menumpas para penjahat, Kawista dibangun kembali menjadi areal pura. Di Pura Puseh Panegil Dharma dibangun lima pura yaitu Pura Pucaking Giri (selatan), Pura Patih Patengen Agung (utara), Pura Kertapura yang berfungsi sebagai pesamuan para raja dan patih di Narasinga Nagara (tengah), dalam telaga, Pura Taman Sari Mutering Jagat Istana Dharmadyaksa (timur) dan Pura Kerta Negara Mas sebagai istana raja.

Sementara pusat itu dikelilingi delapan pura lainnya masing-masing Pura Negara Gambuh Anglayang, Dalem Puri, Maduwe Karang, Patih, Pandita, Candri Manik, Gede dan Pura Sang Cempaka.
Menurut Prof. Armaya, di Pura Penegil Dharma semua umat harus mohon kesadaran terhadap fungsi panumadian supaya perjuangan hidup berhasil dengan baik. Orang yang bersembahyang ke pura ini harus dalam keadaan bersih lahir batin seperti balita.

"Jangan meminta hal-hal aneh seperti kekayaan berlebihan karena tidak akan berhasil. Begitupun niat-niat buruk, tidak akan mempan dilakukan di Pura Penegil Dharma," ucapnya.

Sementara itu, salah seorang pemangku di Pura Penegil Dharma Jro Mangku Gede Nyoman Sara mengatakan pura ini berada di lahan seluas sekitar 1,5 hektar. Piodalan di pura ini berlangsung setiap enam bulan, yaitu saat Buda Manis Julungwangi. Pura ini disungsung seluruh masyarakat Buleleng dan Bali.

Pangemongnya dari Desa Pakraman Kubutambahan yang terdiri atas Pasaren, Teruna dan Pemaksan. Jumlahnya lebih dari 500 orang. Para pangemong ini yang menyiapkan segala upacara yang berlangsung di Pura Penegil Dharma.
sumber: BaliPost
Jejak Pura Puseh Penegil Dharma, Pusat Pengembangan Agama dan Pemerintahan
Quote:
Pura Penegil Dharma (PPD), nama dari sembilan pura yang terdapat di Desa Kubutambahan dan Desa Bulian, Kabupaten Buleleng. Pusat dari pusat pura itu adalah Pura Puseh Penegil Dharma atau dikenal dengan nama Pura Penyusuhan. Pura ini tidak pernah diketemukan tertulis pada prasasti-prasasti yang ada. Pura itu baru dikenal awal 1995, pada saat rombongan dosen Teknik Unud mengunjungi sebuah desa di kaki Gunung Raung, Banyuwangi. Di sebuah petilasan yang ada di sekitar Desa Alas Purwo itu, nama Pura Penegil Dharma yang terdapat di Gigir Manuk muncul sebagai sebuah pura yang harus dilestarikan. Apa dan bagaimana keistimewaan Pura Penegil Dharma itu, sehingga orang-orang spiritual banyak berkunjung ke sana? Apa filosofi pura dalam konteks kekinian? Bukti-bukti sejarah apa yang mendukung keberadaan pura tersebut?

Menurut Klian Ulu Krama Pengemong Pura Penegil Dharma Prof. Drs. Putu Armaya, apabila diperhatikan secara seksama, bentuk Pulau menyerupai bentuk seekor itik dengan posisi kepala menghadap ke Barat. Punggungnya menghadap ke utara, ekornya menghadap ke Timur. Perut bagian bawah serta dada menghadap Samudera Hindia di selatan.

Dari gambaran itu, di mana punggung menghadap ke utara, besar kemungkinan bahwa terjalin hubungan Pulau Bali dengan pusat-pusat budaya, baik yang bersifat lokal di nusantara, maupun yang hubungan internasional. Dicontohkan, hubungan dengan pusat budaya Cina, India, Mesir, Babilonia, Atena dan lain-lainnya dimulai dari Bali Utara.

Dikatakan, jika meneropongnya dari sisi spiritual, pada punggung (gigir manuk), ada satu jalur penghubung sepanjang sumsum tulang belakang yang dikenal dengan istilah kundalini. Penjelasan secara spiritual itu lebih meyakinkan lagi bahwa Bali bagian Utara yang menggambarkan gigir manuk terdapat tempat-tempat suci yang punya nilai magis yang sangat tinggi.

Di samping penjelasan itu, di Bali Utara juga dikenal dengan konsep Nyegara Gunung dengan ditemukan Pura Mutering Jagat di sepanjang pesisir utara Pulau Bali. Bila ditelusuri dari segi geografis, di daerah punggung yang menghadap ke utara Pulau Bali atau dikenal dengan istilah gigir manuk atau tulang geger yang nampak paling menonjol. Hal itu, tak ubahnya sebuah daerah yang menonjol ke laut yang merupakan Tanjung Utara Pulau Bali.

Di daerah yang menonjol ini dulunya diduga terdapat sebuah laguna. Lokasi laguna diperkirakan kurang lebih 400 meter dari batas daratan yang ada sekarang. Dapat dibuktikan dengan keberadaan Barier yang ada serta perbedaan jenis tanah yang ada di sebelah utara jalan raya dengan jenis tanah di sebelah selatan jalan raya. Jenis tanah di sebelah utara jalan raya merupakan tanah endapan lumpur atau sedimentasi. Sedangkan jenis tanah di sebelah selatan jalan raya merupakan jenis tanah batuan.

Uraian tentang jenis tanah membuktikan bahwa memang daerah tersebut merupakan danau yang sangat luas yang bermuara ke laut, sehingga disebut laguna. Tempat pertemuan laut dan danau itu sekarang merupakan Pura Negara Gambur Angelayang. Di tempat itu dulu merupakan pelabuhan dagang yang bernama Kuta Baning yang berarti Benteng Perang.

Lebih lanjut dikatakan, Kuta Baning mempunyai arti sebagai berikut. Di atas merupakan sebuah tempat yang dikelilingi dengan benteng berfungsi sebagai pengamanan karena daerah tersebut merupakan pelabuhan dagang dan sebagai pusat perdagangan. Tempat ini sekarang sebagai salah satu pura pesanakan Padma Bhuana Kahyangan dengan nama Pura Negara Gambur Angelayang. Pura ini merupakan lambang di mana agama merupakan satu tujuan.

Dikatakannya, di Kawista inilah -- bila diruntut sejarah -- dibangun istana, pusat pemerintahan dan pusat agama yang didirikan oleh Sri Ugra Sena Warmadewa yang juga bergelar Sri Kesari Warmadewa (secara etimologi kata ''Ugra'' sama dengan kata ''Kesari'' artinya sama-sama Singa). Istana tersebut sekarang ini dikenal dengan nama Pura Puseh Penegil Dharma.

Sri Ugra Sena Warmadewa dikenal sebagai Sri Kesari Warmadewa saat beliau memimpin penyerangan daerah Suwal, Gerung atau Gurun yang dikenal sekarang dengan Sumbawa dan Lombok. Setelah membangun Kauripan bersama Mpu Sendok, Tabanendra Warmadewa membantu Ugrasena Warmadewa membangun Kawista. Istana beliau di tepi selatan Kawista, yang keberadaannya sekarang merupakan Pura Bukit Sinunggal. Tabanendra Warmadewa bertugas mengembangkan wilayah Tajun ke arah selatan sebagai sentra pertanian. Nama Tabanan diambil dari nama Tabanendra Warmadewa.

Lebih lanjut dikatakan, pasca-Sri Kesari Warmadewa, daerah Kawista juga sempat dijadikan kembali sebagai istana. Di sana dipakai sebagai pusat pemerintahan dan pengembangan agama. Selain bernama Kawista, pusat pemerintahan tersebut juga dikenal dengan nama Banyu Buah dan Puseh Penegil Dharma, sebagi pusat dari Padma Bhuana Kahyangan.

Nama Banyu Buah mempunyai arti ''berbuah di air''. Buah yang dimaksud adalah padi. Pada zaman pemerintahan Nara Singa Murti, sudah ada sistem subak untuk mengairi tanah pertanian (sawah). Subak yang pertama adalah Subak Tukad Dalem (tukad yang dibangun oleh Raja atau Dalem-red) yang masih bisa dilihat peninggalannya di sekitar Pura Penegil Dharma sekarang.

Kembali ke kata Kawista. Menurut Armaya, kata Kawista mempunyai arti ''tanah yang suci''. Tanah sebelum campur tangan manusia memang sudah dititahkan oleh Tuhan, Sang Pencipta sebagai tempat yang suci. Di tempat tersebut akan dibangun tempat suci, sebagai perlambang bangkitnya jalan-jalan sinar yang menganugerahkan hari wisuda dari sebuah jiwa setelah melewati lahir kembali yang siklusnya berulang-ulang.

Armaya mengatakan, di tempat suci merupakan pertanda dari kembalinya putra-putri sang Sinar yang berbaur dengan kita dalam wujud manusia yang terlahir lewat sang Illahi. Di pura tersebut akan dibuka segel buku sang Sinar yang lembaran-lembarannya direkatkan oleh tiap kepercayaan sebagai bahasa cinta kasih universal. Pusat Kawista yang menjadi Istana, pusat pemerintahan dan pusat agama, keberadaannya sekarang dikenal dengan nama Pura Puseh Penegil Dharma, berlokasi di Banyu Buah, Desa Kubutambahan. (sut)

Struktur dan Arsitektur Pura Penegil Dharma
PEMBANGUNAN tempat suci oleh Nara Singa Murti, mengikuti sistem ketatanegaraan pemerintahan di Kediri. Istana sebagai pusat pemerintahan juga pusat pengembangan agama. Raja sebagai kepala pemerintahan berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator makrokosmos. Menjalankan fungsi itu, Nara Singa Murti bergelar Parameswara Sri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana.

Menurut Klian Ulun Krama Pengemong Pura Penegil Dharma Prof. Drs. Armaya dan pengikut spiritual Suhandoyo dari Yogyakarta, Mahesa Cempaka atau Nara Singa Murti mempunyai banyak nama. Masing-masing gelar mempunyai arti. Maharaja Aji Jayapangus gelar yang diberikan di Jawa saat mengikuti pendidikan. Sedangkan Jaya Sakti, Jaya Raga, Jaya Den Jaya, gelar yang diberikan pada saat membebaskan Istana Kawista dari sarang perompak yang mengganggu alur perdagangan laut.

Gelar Nara Singa Murti, gugusan bintang Leo atau bintang utara, sebagai pertanda tempat pemerintahan raja. Singa Murti, Singa Raja, Singa yang mengabdi pada Tuhan. Batara Guru, Nara Singa Murti mengembangkan agama, sehingga terjadi kolaborasi Ciwa, Buddha, Polinesia. Agama Hindu Bali yang sekarang memiliki konsep tiga kepercayaan di atas. Upacara tersebut dikenal dengan Tumpek Landep, Tumpek Wariga, Tumpek Kuningan, Tumpek Kerulut, Tumpek Kandang, Tumpek Wayang.

Dicontohkan Tumpek Landep. Makna tumpek ini terkait dengan hidup manusia. Manusia hidup menggunakan alat perjuang. Alat ini untuk mempermudah hidup seperti membuat alat teknik dan mengembangkan iptek. Umat makan untuk menjaga alat-alat tubuhnya berfungsi normal. Manusia pada saat itu tidak selalu tergantung pada benda. Berbeda dengan sekarang. Mereka lebih mengagung-agungkan benda dan berorientasi pada kekayaan materi.

Lebih lanjut dikatakan, Batara Maha Guru, gelar yang dipakai setelah menyelesaikan pembangunan Padma Bhuana Kahyangan. Batara Dana Diraja, beliau juga mengembangkan perekonomian dan pelabuhan bernama Kuta Baning. Sekarang berada di Pura Negara Gambur Angelayang. Batara Parameswara Cri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana. Nara Singa Murti mengemban tugas sebagai stabilisator dan dinamisator makrokosmos dan mengembangkan konsep Padma Bhuwana Kahyangan.

Armaya mengatakan, padma berarti bunga teratai berdaun delapan. Masing-masing daun bunga berisi kekuatan suci. Di tengah daun berstana kekuatan Siwa. Pada bunga padma merupakan sembilan kekuatan suci. Padma Bhuana Kahyangan yang dibangun Nara Singa Murti berpusat di Pura Puseh Penegil Dharma. Padma Bhuana Kahyangan terdiri atas Pura Puseh Penegil Dharma, Negara Gambur Angelayang, Pingit, Meduwe Karang, Patih, dan Pura Dalem Puri. Selain itu, terdapat Pura Pande, Pura Sang Cempaka, dan Pura Candra Manik.

Dikatakan, dari konsep Padma Bhuana Kahyangan itu, Penegil Dharma dikelilingi ke delapan pura pesanakan dikenal konsep Asta Dala (Siwa). Dalam mengembangkan konsep Padma Bhuana Kahyangan, ia dikenal dengan nama Asta Sura Sri Ratna Bumi Banten. Bila kedelapan pura yang mengelilingi Pura Penegil Dharma mengikuti konsep Asta Dala, lima pura yang berada di Puseh Penegil Dharma mengikuti konsep tapak dara (Buda).

Lima pura di Puseh Penegil Dharma yang posisinya mengikuti konsep tapak dara. Pura Pucaking Giri, situs Karang Harum diperkirakan akarnya mencapai kedalaman 118 meter. Lokasinya di sebelah delatan merupakan tempat pemujaan Batara Parameswara Cri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana. Tempat ini merupakan pusat pengembangan agama, beliau merupakan maharaja dan mahapandita.

Pura Kepatihan Petengen Agung berada di sebelah utara. Tempat ini merupakan sekretaris negara, kalau dibandingkan dengan susunan kabinet pemerintahan sekarang. Pelinggih Ratu Gede Petengen Agung merupakan tempat departemen kesehatan dengan adanya pelinggih Ratu Gede Balian Sakti di pura itu.
Konsep Nyegara Gunung

Pura Mutering Jagat salah satu konsep Nyegara Gunung. Arti dari jagat adalah daratan. Mutering Jagat adalah laut. Tanpa adanya laut tak mungkin ada daratan. Berlokasi di sebelah timur. Di tempat ini distanakan putri dari Nara Singa Murti, adik tiri dari Ratu Bagus Mas Aji Sapelinggih (dari ibu yang berbeda-red).

Pura Kertha Negara Mas berlokasi di sebelah barat, tempat istana Putra Nara Singa Murti yang bernama Ratu Bagus Mas Aji Sapelinggih, bergelar Asta Sura Cri Ratna Bumi Banten II yang merupakan Raja Bali terakhir sebelum Majapahit di Bali. Tempat ini dahulu berfungsi sebagai istana raja.

Pura Kertha Pura di Tengah, di mana pada masa pemerintahan merupakan tempat penerapan penegakan hukum. Di tempat ini terdapat bangunan ''Bale Mudra Manik''. Sebuah bangunan tempat pesamuhan para raja-raja Nusantara. Di tempat ini distanakan cucu laki-laki yang bernama Ratu Ngurah Kertha Pura dan cucu perempuan Ratu Ayu Mas Gemulung pada Bale Mudra Manik yang diapit oleh pelinggih Ibunda Ratu Ayu Manik Mekolem (Ratu Ayu Solo) di sebelah kiri dan pelinggih Ratu Patih Sebali di sebelah kanan.

Delapan pura pesanakan yang mengikuti konsep Asta Dala yakni Pura Pandita, di barat daya Pura Puseh Penegil Dharma, Desa Kubutambahan. Pura ini merupakan kompleks penasihat spiritual raja. Pura ini merupakan pesraman dari Resi Markandiya zaman pemerintahan Sri Kesari Warmadewa. Pura Meduwe Karang, berada di Desa Kubutambahan dan dibangun oleh Wijaya Mahadewi.

Pura Candra Manik dikenal pula dengan nama Pura Yeh Lesung di Desa Bulian. Pura ini istana darurat dari Sri Wijaya Mahadewi, pada saat Istana Kawista diserang oleh Wong Bajo. Saat yang bersamaan Punggawa Udayana menyerang Tampaksiring berkaitan dengan penganut sekte Bhairawa. Batara Indra yang kita tahu dari cerita berdirinya Pura Tirta Empul adalah Udayana. Saat itu diberikan gelar Indra Warmadewa. Di pura ini (Candri Manik) oleh masyarakat dipercaya adanya nama Dewi Suleca yang berstana.

Suleca berasal dari kata ''Salu'' dan ''Ica''. Salu berarti sanggar agung berkaki pendek atau singgasana. Sedangkan Ica berarti anugerah. Dari kata raja yang berarti Kinasihaning Jawoto. Dengan kata lain Sri Wijaya Mahadewi merupakan kesayangan Tuhan. Atas anugerah beliaulah Sri Wijaya Mahadewi menjadi raja. Pura Negara Gambur Angelayang di Desa Kubutambahan merupakan pusat perdagangan yang dikelilingi oleh benteng yang disebut Kuta Baning. Dikatakan, tempat ini dipakai transaksi perdagangan dan terjadinya kolaborasi budaya dari pedagang Melayu, Cina, Babilonia, Pasundan, India, Atena, dan pedagang-pedagang dari belahan dunia lainnya. ''Namun, untuk membuktikan kebenaran sejarah itu, perlu ada pengkajian yang sangat mendalam,'' katanya.

Menurut Armaya, pusat perdagangan ini di bawah pengawasan Ratu Ngurah Kertha Pura dibantu penasihat administrasi pabean. Sekarang dikenal dengan nama Ratu Gede atau Ayu Subandar. Beliau adalah salah seorang panglima saat dinasti Sung berkuasa di daratan Tiongkok yang diperbantukan untuk membantu Raja Nara Singa Murti mengelola pelabuhan dan administrasi pabean.

Di pura ini terdapat pelinggih Ratu Agung Syah Bandar, Ratu Agung Melayu, Ratu Bagus Sundawan, Ratu Gede Dalem Mekah, Ratu Ayu Pasek, Ratu Gede Siwa, Batari Sri Dwijendra dan Ratu Ayu Mutering Jagat. Keberadaan pura ini sangat berjasa dalam pembinaan dan penerapan agama. Agama itulah merupakan satu tujuan. Tempat di mana agama dan penganut agama berkumpul dan bersatu.

Pura Pingit di Desa Bulian. Sesuai dengan nama Pura Pingit, pura ini merupakan tempat melaksanakan pertapaan oleh Raja Nara Singa Murti. Sekarang dikenal dengan tempat penyimpanan prasasti (prasasti Bulian-red). Prasasti ini baru sebagian kecil saja bisa dibaca salinannya yang dikenal dengan nama prasasti Bulian A dengan nomor 633 dan prasati Bulian B dengan nomor 706.

Masih dalam kompleks Pura Penegil Dharma. Di sana ada Pura Patih di Desa Kubutambahan merupakan istana tepi siring bagian barat. Pura Sang Cempaka di Desa Bulian merupakan benteng pemantau laut berlokasi pada dataran tinggi. Pura Penegil Dharma yang kini menjadi incaran orang-orang spiritual memang memiliki kekuatan dan pancaran Illahi. Menurut Jro Mangku Gde Made Astika, pura ini penuh dengan misteri. Pengalaman spiritual sejak menjadi pemangku sangat unik. Apa yang tidak pernah dibayangkan manusia, terjadi dan muncul di sekitar pura itu. (sut)

Pura Penegil Dharma, Dalam Konteks Spiritual Modern
DALAM konteks kekinian, Pura Puseh Penegil Dharma (PPPD) banyak menyedot perhatian banyak pihak. Mulai dari kalangan spiritual, sejarawan, arkeolog dan lain-lain. Salah seorang arkeolog itu adalah berkebangsaan Swis yakni Mr. Bruno Riek. Ia pernah mengunjungi Pura Puseh Penyusuhan Dharma dalam upaya mencari sebuah gugusan bintang. Tujuannya, membuktikan sebuah teori tentang makrokosmos dan mikrokosmos.

Gugusan bintang yang dimaksud adalah gugusan bintang utara. Teori itu menyebutkan, tempat di mana gugusan bintang utara dapat dilihat dengan jelas, tempat di mana makrokosmos dan mikrokosmos benar-benar menyatu di daerah tersebut. Pendapat tersebut dikuatkan tokoh spiritual dari Benua Amerika, Elan dan Carrol. Kedua orang ini merasakan getaran-getaran energi illahi di lintas batas Pura Penegil Dharma tersebut.

Elan dari Kanada beserta Carrol dari Amerika dalam bahasa spiritual mengandaikan, bahwa sebelum semua berawal, dan sesudah segalanya berakhir, tempat ini sudah terpilih sebagai temple. Pulau Bali menggambarkan inti dari cincin api dan temple ini sebagai titik tengah tempat di mana semua kepercayaan yang berbeda akan menyatu dan disucikan menuju suatu titik -- unsur Tuhan yang suci dan unsur murni dari yang satu yang membara dalam hati.

Pandangan Elan dan Carrel mengingatkan pada nama Kawista yang mempunyai arti tanah yang suci. Temuan lain tentang Pura Puseh Penegil Dharma, dapat ditemukan pada World Matrix With Energy Centres. Dalam World Matrix With Energy Centres disebutkan, ''Tempat ini (di Pura Puseh Penegil Dharma-red) merupakan titik atau poin timur dari bola dunia. Titik barat ada pada Danau Titicaka di Puncak Gunung Titicaka di Peru''. Sebenarnya titik-titik tersebut, sesuai dengan isi bait-bait wargasari yang menyebutkan ...Betel Kangin, Betel Kauh. Maksudnya bahwa Bali merupakan Betel Kangin dan Danau Titicaka di Pucak Gunung Titicaka merupakan Betel Kauh.

Seperti disebutkan pada peta itu, tempat ini merupakan titik timur dari bola dunia. Di mana titik barat berada di sebuah Danau Titicaka di Puncak Gunung Titicaka di Peru. Jika sekarang masih tersisa mata air yang ada di Permandian Air Sanih dan mata air yang berada di dalam Pura Penyusuhan, memang tempat ini dahulu kala merupakan danau atau laguna yang membentang dari Pura Dalem Puri Desa Kubutambahan sampai Permandian Air Sanih.

Keberadaan laguna atau Danau itu memang disebutkan dalam beberapa prasasti dengan nama Er Madatu, Banyu Plasa atau Er Angga. Er Angga berasal dari Er Rangga. Rangga sama dengan pohon tenggulun. Tenggulun berasal dari kata ''tanggu ulu'' yang berarti tanduk menjangan. Jika dilihat saat ini, memang di sekitar Pura Puseh Penegil Dharma banyak ditemukan pohon tenggulun yang dimaksud. Dahannya menyerupai tanduk menjangan.

Titik barat di mana danau tersebut berada di pucak Gunung Titicaka, maka titik timur berada di gunung keempat yang dimaksudkan adalah Pucaking Giri (Puncak Gunung). Sekarang merupakan nama salah satu pura yang berada di Pusat Pura Penyusuhan Penegil Dharma.

Pendapat lain yang memperkuat arti spiritual Pura Puseh Penegil Dharma diungkapkan Mr. Jhon Barry, seorang koreografer dari Colorado. Mr. Jhon Barry. Setelah melakukan perjalanan ke negara Mesir (negeri Egip) untuk meneliti keberadaan piramida yang sangat termasyur, ia melanjutkan perjalanannya ke Bali untuk mencari Puncak Piramida yang diperkirakan berada di Pulau Bali.

Dalam sebuah perayaan Natal 24 Desember 1998 lalu yang dilaksanakan oleh kelompok warga negara Italia yang ada di Pulau Bali, Jhon Barry mengikuti rombongan ikut merayakan Natal di Pura Puseh Penegil Dharma. Tanpa disadari, pura itulah yang dicari sebagai pucak piramida. Tempat itu dianggap sebagai pucak dari sebuah piramida. Menurut pandangan beberapa kelompok yang mendalami spiritual, tempat itu merupakan tempat yang universal.

Dikunjungi Orang Spritual
Tak heran, sejak awal 1996, Pura Puseh Penegil Dharma banyak dikunjungi oleh orang-orang yang senang melakukan perjalanan spiritual. Tak pelak lagi Presiden Megawati Soekarnoputri juga sempat ke sana. Jumlah pejabat di Bali juga banyak yang bermeditasi di pura itu. Para pendalam spiritual itu berasal dari Bali luar Bali, bahkan mancanegara. Banyak dari mereka yang memberikan pandangan pribadi mereka tentang keberadaan pura tersebut.

Pandangan dan bahasa spiritual Elan O'Brien Carrol dari Kanada tentang keberadaan Pura Puseh Penegil Dharma seperti ini: ''Sebelum semuanya ada, dan setelah semuanya tiada, pura ini telah ditentukan sejak dahulu kala. Di saat kita semua berada dalam haribaan Yang Esa. Awalnya kita satu, kita adalah cinta kasih, kita adalah Tuhan itu sendiri''.

Kita adalah bagian dari sang Roh Pencipta yang bersemayam di dalam diri kita semua. Kita sepakat untuk memainkan beragam peran. Kita sepakat melupakan intisari Tuhan yang bersemayam di dalam diri kita. Maksudnya, semua agar dapat berpencaran dan mewujudkan bentuk yang lebih agung dari intisari Tuhan yang bersemayam dalam segala yang ada.

Pura ini mengisyaratkan kesiapan kita mengingat atau bersujud pada pura baik yang ada di Bhuana Alit maupun di Bhuana Agung. Semua orang telah ambil bagian dalam membuka pintu perwujudan penciptaan yang lebih agung. Semua kepercayaan dan perwujudannya adalah bagian dari kunci universal ini. Kunci ini adalah cinta kasih. Bila semua agama dan umat manusia bersatu dalam satu titik fokus guna menyalakan ungkapan mereka yang unik lewat Mudra dan Suara, daya mahkota dari Yang Esa akan bangkit.

Merpati (cinta kasih) yang bersemayam di dalam diri kita semua akan mulai berkelana dari bintang di dalam inti bumi. Melewati jalanan sang Naga dan bumi ini akan mencuat menjadi sebuah bintang yang menyatukan sorga-sorga dan bertahta sebagai Kerajaan Tuhan.

Oleh sebab itu, semua orang akan mendapat kesempatan. Mereka yang datang hanya perlu mengenali Tuhan yang bersemayam di dalam dirinya. Memilih untuk melangkah ke depan dan mengingat masa lalunya sebagai bagian dari intisari Tuhan sebagai pencipta yang Esa. Tiap orang akan memegang kode-kode istimewa yang diwujudkan dalam kepercayaan-kepercayaan mereka yang unik sebagai bagian dari rencana Sang Pencipta.

Ini menjadi lambang dari lengkungan pelangi yang menyatu di atas mau pun di bawah berlandaskan pemersatuan dua kutub yang berlawanan. Pura ini diciptakan untuk menjadi pintu masuk ke dalam mahkota yang hanya bisa dicapai dengan meniadakan waktu, ruang dan tidak mendua serta hati yang saling bertautan.
*Ngurah Paramartha

Pura Luhur Yeh Ketipat, Den Bukit, Buleleng (6)


Sebelumnya melangkah menuju pada keberadaan Pura Tirta Yeh Ketipat, alangkah baiknya terlebih dahulu menelusuri definisi Pura. Kata Pura memiliki beberapa makna dan pernah mengalami berbagai perubahan istilah dan makna. Di India, daerah kelahiran agama Hindu, Pura disebut dengan Mandir, Dwargrha dan lain sebagainya. Di Bali, sebelum Majapahit memancangkan kekuasaanya, istilah Pura disebut dengan Ulon ‘hulu’, selanjutnya menjadi Hyang seperti: Hyang Api, Hyang Tanda, Hyang Karimama, Hyang Soka. Nama-nama Hyang ini banyak disebutkan dalam prasasti Bali Kuna. Seiring perkembangan jaman, Hyang berubah menjadi Kahyangan atau Parhyangan. Bahasa Jawa Kuna juga mengadopsi kata Pura dari bahasa Sanskerta. Kata Pura memiliki arti: kota, istana, keraton, tempat tinggal raja, ibu kota, dan kerajaan.
Setelah kerajaan Bali kuna ditaklukkan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Majapahit Gajah Mada yang selanjutnya membawa Dalem Sri Krsna Kepakisan sebagai pemimpin di Bali, istilah Pura digunakan menyebut istana raja, misalnya: Sweca Pura ‘istana raja Gelgel’; Bandana Pura ‘istana raja Badung’; Smara Pura ‘istana raja Klungkung’; Manga Pura ‘istana raja Mengwi’; dan lain sebagaainya. Sejak kedatangan Dang Hyang Dwijendra ke Bali dan sempat menjadi Bhagawanta ‘pendeta/penasehat istana’ Dalem Waturenggong pada abad ke-17, istilah Pura sebagai sebutan istana raja diganti menjadi Puri. Oleh karena itu, Pura dijadikan istilah untuk menyebutkan tempat suci sampai saat ini. Di samping itu kata Parhyangan atau Kahyangan juga masih digunakan untuk menyebut Puraa oleh masyarakat di daerah tertentu di Bali sampai saat ini.
Berdasarkan Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I – XV, Pura adalah tempat suci untuk memuja Ida Saang Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabawanya (manifestasi-Nya) dan Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur). Disamping itu, pemujaan digunakan juga istilah Kahyangan atau Parhyangan. Secara lebih khusus dalam kitab Isanasiwagurupaddhai, III. 12. 16 menyebutkan kesesuaian filosofi pembaangunan Pura dengan lingkungan yang akan di bangun, yaitu:
            Prasadam yacchiva aktyatmakaam
tacchaktyantaih syadvisudhadyaistu tatvaih,
saivi murtih khalu devalayakhyetyasmad
dhyeya prathamam cabhipujya
Artinya:
Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Siwa dan Sakti dan kekuatan/Prinsip Dasar dan segala Manifestasinya atau Wujud-Nya, dari element hakekat yang pokok, Prthivi sampain kepada Sakti-Nya. Wujud konkrit (materi) Sang Hyang Siva merupakan sthana Sang Hyang Widhi. Hendaknya seseorang melakukan permenungan dan memuja-Nya.
 
Kedudukan yang penting, telah mengantarkan Pura sebagai tempat menambatkan hidup dan kehidupan pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai prabhawa-Nya. Tindakan ini dilakukan semata-mata karena manusia sejak lahir selalu mengalami penderitaan dan kesengsaraan baik dirasakan maupun tidak. Dari penderitaan dan kesengsaraan ini manusia selalu ingin membebaskan diri dari jeratan maya ‘penderitaan’. Begitu pula manusia selalu rindu akan Tuhan. Untuk mencurahkan kerinduan maupun mengadukan problema kehidupan. Oleh karena Hyang Widhi Maha Suci, maka keberadaan tempat suci dibangun sebagai salah satu media penghubung keharmonisan manusia dengan Tuhan.

Pura Pancering Jagat Ratu Patih, Bongancina, Buleleng (7)

PURA RATU PATIH
SEBELUM TAHUN 1900 AN
Sebelum pemerintah Belanda mengijinkan kembali membuka hutan lindung di desa Bongancina sekitar tahun 1900 an, desa ini telah pernah berpenghuni. Tetapi penduduk ketika itu tidak bisa bertahan, karena lahan pertanian mereka diserang oleh hama semut merah, sehingga penduduk mengungsi ke arah timur ke desa Kaliukir, Kecamatan Pupuan. Hal ini terlihat dari fakta, dimana sampai saat ini bila diadakan piodalan di Pura Desa & Puseh Bongancina, keturunan dari bekas penduduk yang kini sudah tinggal di desa Kaliukir, datang untuk ”ngaturang bhakti” ke Pura tersebut.

Juga dari penuturan tetua-tetua desa, desa ini pernah dihuni oleh orang Tionghoa, hal ini terlihat dari penemuan penduduk berupa perhiasan, gerabah, keramik, serta daun gender kuno, di beberapa tempat. Mereka juga meninggalkan desa ini, karena tidak tahan dengan serangan hama semut merah. Nama Bongancina diduga berasal dari BONGanCINA (Kuburan Cina). Pernah ada seorang warga Tionghoa yang datang dari Jakarta, untuk melihat keberadaan desa Bongancina dan Pura Ratu Patih. Entah karena petunjuk mimpi atau sebab lain. Diduga Bongancina pernah menjadi desa tujuan, pada saat pertama kali orang Tionghoa menginjakkan kakinya di Bali. Pada saat ini di Bongancina ada seorang tapakan dipercaya sebagai dasaran Dewi Kwan Im.

DIHUNI KEMBALI
Pada awal tahun 1900 an pemerintah Belanda mengijinkan penduduk untuk membuka hutan lindung di daerah Kutul (kini desa Pucaksari, Kecamatan Busungbiu 12 km di sebelah barat Pupuan), termasuk pembukaan hutan di Bongancina (waktu itu masih merupakan Banjar dari Desa Kutul). Menghadapi beratnya medan, menghadapi binatang buas dan sulitnya menebang pohon-pohon besar dengan peralatan seadanya, diperlukan adanya semangat persatuan, kerjasama, saling membantu, dan semangat setia kawan diantara penduduk. Karena itu beberapa orang cikal bakal pendiri desa Bongancina, yang tinggal dalam satu lokasi di palemahan Bongancina Tua yang terdiri dari keluarga I Dewa Made Turun, I Dewa Made Mayus, I Dewa Putu Kereped, I Dewa Nyoman Bajing, I Dewa Putu Darta, I Gusti Putu Siama dan I Gusti Made Tama, mengucapkan ikrar :
1) Siapa yang berada di rumah, agar menjaga keluarga yang lainnya. Siapa yang berselingkuh agar tidak menemukan keselamatan (Pada saat itu terdengar suara Guntur menggelegar).
2) Siapa yang ”nyetik” (meracun), neluh, nerangjana (menggunakan ilmu hitam), mencelakai teman lainnya, agar tidak menemukan keselamatan. (Pada saat itu terdengar suara burung tuu-tuu). (Kutipan dari catatan peninggalan keluarga I Dewa Putu Kereped).

PURA RATU PATIH
Pada saat pembukaan hutan, penduduk belum mampu mendirikan Pura Kahyangan Tiga, oleh karena itu cikal bakal pendiri desa yang tersebut diatas beserta penduduk yang lain yang tinggal di lokasi yang berbeda, mendirikan bebaturan sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tempat memuja beliau untuk tempat memohon agar penduduk bisa selamat tidak terserang binatang buas dan terhindar dari serangan hama semut merah. Pura tersebut kemudian dikenal dengan nama Pura Ratu Patih (Nama ini diberikan oleh orang yang kesurupan pada saat dilaksanakan piodalan). Pura ini pernah dipugar tahun 1978 dan dipenghujung tahun 2009 dilaksanakan pemugaran kembali yang dilaksanakan oleh para Pengempon Pura yang jumlahnya 85 KK.. Pembangunan Tahap Pertama diselesaikan diawal tahun 2010 dan pada tanggal 12 Januari 2010, dilangsungkan upacara pemelaspasan, yang dipuput oleh Ida Pedanda Griya Jagaraga dan dihadiri juga oleh Muspika Kecamatan Busungbiu.

PERAN PURA RATU PATIH
Disaat pembukaan hutan dilakukan, Pura ini digunakan sebagai tempat ngaturang bhakti dan tempat memohon keselamatan agar penduduk tidak mendapat halangan dalam membuka hutan. Pada masa Revolusi phisik, Pura ini juga digunakan oleh para pejuang, sebagai tempat untuk berlindung. Desa Bongancina merupakan desa basis perjuangan dimana Markas Cabang Menaka Giri yang dipimpin oleh I Dewa Putu Dhanu (Pak Sundih) berlokasi Di Markas Cabang Menaka Giri iini dihimpun para pejuang dari desa Bongancina, Tista, Sepang, Kutul (Pucaksari) dan Belatungan (Kecamatan Pupuan). Pada saat tentara Nica dan ”gandek”nya (sebutan untuk orang pribumi yang menjadi kaki tangan Belanda), melakukan pembakaran rumah penduduk desa Bongancina, maka penduduk mengungsi ke Munduk Gawang. Pembakaran rumah penduduk dibarengi juga dengan penyisiran terhadap pejuang oleh tentara Nica. Pada waktu itu pejuang memperoleh ”petunjuk” agar berlindung di Pura Ratu Patih yang jaraknya hanya tiga meter dari jalan raya. Entah karena kebetulan atau memang karena para pejuang memperoleh perlindungan serara ”niskala”, semua pejuang selamat pada saat penyisiran itu. Hanya saja dalam pertempuran yang lain di desa Bongancina, sebanyak lima orang pejuang gugur, yang kemudian oleh penduduk didirikan Tugu Pahlawan, untuk mengenang perjuangan beliau.

PURA RATU PATIH SEBAGAI LOKASI MEDITASI
Pura Ratu Patih terletak di ketinggian (munduk), sehingga pada pagi hari disaat udara cerah semua desa di sebelah timur Bongancina, Gunung Batukaru dan Gunung Agung nampak dengan jelas. Menginjakkan kaki di pelataran pura, terasa ada vibrasi positif terpancar di area itu. Beberapa bulan setelah upacara pemelaspasan, ada seorang bhakta penekun spiritual dari Denpasar, datang ke Pura tersebut. Beliau datang kesana dituntun oleh mimpinya Beliau terkesan dengan keberadaan Pura Ratu Patih dan sebagai wujud bhakti dan juga untuk menambah dana dalam usaha melanjutkan pembangunan phisik pura tesebut, beliau memprakarsai pembuatan Kupon Sumbangan Berhadiah dan beliau juga yang ngaturang punia dalam bentuk pembuatan Kupon tersebut. Penarikan hadiahnya dilakukan tanggal 30 Agustus 2010 dan tanggal 31 Januari 2011. Semoga niat baik datang dari segala penjuru.